Hoaks Ratna Sarumpaet, Mengapa Orang Pintar Tertipu Berjemaah?

Liberty Jemadu Suara.Com
Rabu, 17 Oktober 2018 | 20:46 WIB
Hoaks Ratna Sarumpaet, Mengapa Orang Pintar Tertipu Berjemaah?
Aktivis Ratna Sarumpaet (tengah) tiba di Mapolda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (4/10). [ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Baru-baru ini media sosial dan media massa menyebarkan drama dugaan penganiayaan yang terjadi pada aktor teater Ratna Sarumpaet. Belakangan terungkap Ratna berbohong mengenai penganiayaan terhadapnya. Polisi dengan cepat menunjukkan bahwa muka Ratna lebam dan bengkak bukan karena dianiaya oleh orang di Bandung, tapi dampak dari sedot lemak yang dilakukan oleh dokter bedah plastik di rumah sakit di Jakarta.

Sampai kini motif sebenarnya kebohongan itu masih kabur. Namun posisi Ratna sebagai juru bicara tim pemenangan calon Presiden Prabowo Subianto membuat publik langsung mengkaitkan motif Ratna berbohong dengan kepentingan politik kelompoknya.

Sadar anggota timnya bikin blunder, Prabowo buru-buru minta maaf atas kegaduhan tersebut. Ratna kemudian mundur dari tim kampanye Prabowo.

Sebelumnya, Prabowo sampai menggelar konferensi pers khusus dan menyatakan penganiayaan Ratna “di luar perikemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan tindakan pengecut terhadap ibu berusia 70 tahun.”

Dalam sejarah politik Indonesia, presiden dan menteri juga pernah ditipu oleh pembohong dengan kisah yang berbeda, tetapi mengapa Prabowo dan timnya mudah sekali terperdaya oleh kebohongan Ratna Sarumpaet? Lalu, mengapa Ratna begitu mudahnya mengarang cerita yang tak pernah terjadi?

Bias kognitif dan kabar bohong

Manusia menggunakan dua strategi pemrosesan informasi, yaitu proses yang intuitif dan instan (tipe 1) dan proses yang sifatnya analitis dan cermat (tipe 2). Ada banyak temuan penelitian yang mendukung kesimpulan bahwa manusia cenderung menggunakan tipe yang pertama.

Coba kita simak salah satu pertanyaan dalam Cognitive Reflection Test (CRF) berikut ini:

“Sebuah alat pemukul dan bola bisbol harganya total US$1.10. Alat pemukul harganya US$1 lebih mahal daripada bola. Berapa harga bola?”

Kebanyakan orang akan menjawab dengan cepat bahwa harga bola adalah US$0.10, padahal jawaban ini tidak masuk akal. Kalau harga bola US$0.10, maka harga alat pemukul ditambah bola adalah US$1.20. Ini menunjukkan strategi intuitif (tipe 1) akan menghasilkan kesimpulan yang cepat, tapi tidak akurat. Dengan menggunakan perhitungan aritmatika sederhana, harga bola seharusnya US$0.05 dan harga pemukul US$1.05.

Manusia pada dasarnya adalah cognitive miser, cenderung menyukai jalan pintas kognitif dalam menyimpulkan informasi, dan sebaliknya, menghindari situasi yang menuntut pemikiran mendalam, analitis, dan reflektif. Lebih-lebih ketika kita dihadapkan pada informasi yang bombastis, mengandung elemen emosional yang ekstrem–seketika dapat membangkitkan rasa marah, kesal, benci atau kagum berlebihan. Inilah celah kealpaan kita yang dimanfaatkan oleh para produsen hoaks.

Dalam memilah fakta dengan kabar bohong, kita cenderung terdistorsi dengan bias kognitif. Dalam menilai suatu kebohongan, individu menerapkan standar ganda–ketika orang lain berbohong, penilaian yang diberikan lebih negatif daripada jika dirinya sendiri yang berbohong.

Dalam relasi antar-kelompok, cara pandang kita terhadap kabar bohong akan terkontaminasi oleh bias kelompok (ingroup-outgroup bias), yang terjadi ketika kebohongan “orang dalam” terlihat lebih meyakinkan daripada fakta yang ditunjukkan oleh “orang luar”.

Logika partisan dan ilusi superior

Dalam situasi seperti ini, seorang partisan yang percaya berita bohong cenderung menolak untuk mengubah pendiriannya, meski sudah ditunjukkan fakta-fakta yang bertentangan dengan pendapatnya. Seorang partisan cenderung hanya mau percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya, serta mengabaikan semua hal yang bertentangan dengan pendiriannya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI