Di sisi lain, aplikasi berdasarkan model Apple dan Google bisa memberitahu pengguna bahwa mereka menghadapi risiko terpapar virus, namun tidak mengungkap identitas pengguna ke pihak berwenang. Dengan demikian, keputusan ada pada pengguna, misalnya, untuk mendaftar tes corona.
Dr Michael Veale, pakar hak digital di University College London, mewanti-wanti itu bisa disiasati.
Dia memberikan contoh ketika sebuah pemerintah yang kewalahan menghadapi Covid-19 hendak mewajibkan karantina.
Pemerintah tersebut, menurutnya, bisa menempatkan sensor Bluetooth di ruang publik guna menemukan pengguna token yang berkeliaran, ketika yang bersangkutan seharusnya mengisolasi diri di rumah.
"Yang harus dilakukan adalah memasang infrastruktur fisik di dunia dan data yang dikumpulkan bisa dipetakan menggunakan nomor KTP Singapura," jelasnya.
"Perkembangannya adalah bagian yang merisaukan."
Akan tetapi, pejabat berwenang yang membuat TraceTogether menyanggah kerisauan tersebut.
"Ada hubungan kepercayaan yang sangat tinggi antara pemerintah dan rakyat. Kemudian ada perlindungan data," tegas Kok Ping Soon, direktur eksekutif GovTech.
Dia berharap publik menyadari bahwa para petugas kesehatan memerlukan data ini untuk melindungi mereka dan orang-orang tercinta di sekitar mereka.
Baca Juga: Salah Kirim Pesan ke 357 Pasien Covid-19, Singapura Minta Maaf
Alasan lain mengapa pemerintah Singapura memilih cara sendiri ketimbang teknologi Apple dan Google adalah karena negara itu bisa memberikan wawasan luas mengenai penyebaran wabah kepada para ahli epidemiologi.
Ini juga sebagian alasan mengapa pemerintah Inggris awalnya menolak menggunakan model kedua perusahaan raksasa itu sampai upaya mengakali batasan Bluetooth milik Apple menemui kegagalan.
Jika teknologi yang dikembangkan Singapura berhasil seperti yang diharapkan, negara-negara lain mungkin tergoda untuk mengikuti.
"[Dengan lebih banyak data], Anda dapat membuat keputusan mengenai kebijakan secara sangat hati-hati membatasi atau mewajibkan hanya pada aktivitas berisiko tinggi. Jika tidak, yang ada hanyalah alat-alat yang lebih tumpul," papar Roland Turner, pakar hak privat yang juga diajak pemerintah Singapura untuk meninjau gadget buatannya.
"Mungkin ada konsekuensi paradoks bahwa kebebasan yang lebih besar dimungkinkan."