Hak masyarakat untuk berpartisipasi dan mendapatkan informasi yang penuh tidak dipenuhi.
Bahkan proses pembahasan tidak lazim, seperti rapat kerja yang dilakukan saat reses dan rapat di luar hari kerja. Terakhir, pengesahan dilakukan sangat buru-buru di luar jadwal yang beredar di publik.
Ada tiga hal yang perlu kita garis bawahi.
Pertama, Presiden dan DPR telah mempraktikkan kembali cara-cara buruk dalam membentuk undang-undang. RUU Cipta Kerja disiapkan, dibahas, dan disahkan dengan prosedur yang tidak transparan, partisipatif dan akuntabel.
Proses buruk ini berlawanan dengan dalih pemerintah bahwa penggunaan metode omnibus law ini adalah bagian dari penataan regulasi. Proses ini sangat tidak tertib dan meninggalkan aspirasi publik. Dengan demikian, presiden dan pemerintah melanggengkan tata kelola legislasi yang buruk.
Kedua, DPR tidak menjalankan fungsi legislasi dengan baik. Reformasi menghendaki adanya penguatan fungsi legislasi DPR dengan memberikan kekuasaan legislasi lebih condong ke DPR. Namun, proses pembentukan UU Cipta Kerja lebih memperlihatkan lemahnya fungsi legislasi DPR saat berhadapan dengan eksekutif. Kontrol kebijakan terhadap usulan presiden tidak dijalankan secara optimal sehingga tidak ada proses checks and balances.
Ketiga, DPR juga telah mencederai fungsi perwakilan. DPR membahas dan mengesahkan UU tanpa membuka ruang dialog yang luas dengan publik secara terbuka. Dewan bahkan terkesan mendiamkan saat aparat menekan publik menyampaikan aspirasinya.
Pembahasan UU Cipta Kerja ini menunjukkan jelas bagaimana DPR semakin berjarak dengan masyarakat. Pola ini memperburuk hubungan DPR dan rakyat.
Proses pembentukan UU Cipta Kerja ini akan menjadi preseden buruk dalam tata kelola legislasi dan membangun sistem representasi yang baik antara DPR dan publik.
Baca Juga: Amankan 18 Pelajar, Polisi: Mereka Dapat Info Bakal Ada Keributan Depan DPR
Melihat konfigurasi politik saat ini, bukan tidak mungkin praktik yang buruk ini akan dilakukan terus oleh DPR bersama Presiden.