Hal ini terlihat dari pernyataan-pernyataan Presiden dan para menteri di bidang ekonomi yang menganggap bahwa perlindungan lingkungan, seperti AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) hanya dilihat sebagai proses yang lama, menyulitkan pengusaha dan bisnis semata.
Padahal, bisnis yang baik membutuhkan ekosistem lingkungan yang baik.
Secara substansi, justru itu pentingnya peran AMDAL dan izin lingkungan, dan instrumen-instrumen pengelolaan lingkungan hidup lainnya.
UU yang baru ini telah menghilangkan izin lingkungan dan pasal keterlibatan masyarakat, dan hak mengajukan keberatan.
Sementara, “roh” dalam AMDAL adalah partisipasi publik karena mensyaratkan adanya riset lapangan untuk melihat baik kondisi lingkungan, masyarakat, hingga potensi adanya dampak pencemaran apabila dilakukan suatu pembangunan di daerah tertentu.
Lebih lanjut, Komisi Penilai AMDAL yang lebih independen karena beranggotakan institusi, masyarakat dan ahli, juga dihilangkan.
Sebagai gantinya, kewenangan komisi ini akan diserahkan kepada satu organisasi di bawah pemerintah yang akan menunjuk ahli-ahli yang bersertifikat.
Bentuk komisi penilai seperti ini, meski beranggotakan para ahli, tidak akan bisa merepresentasikan kondisi sebenarnya di lapangan karena tidak ada perwakilan masyarakat.
Langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat sipil dengan terbitnya UU Cipta Kerja ini adalah melakukan uji formil dan uji material ke Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga: Amankan 18 Pelajar, Polisi: Mereka Dapat Info Bakal Ada Keributan Depan DPR
Uji formil perlu diajukan untuk melihat apakah proses penyusunan UU sudah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan atau tidak. Proses uji formil ini perlu untuk memberikan sebuah kritikan dan koreksi terhadap proses penyusunan perundang-undangan dengan metode seperti ini (omnibus law).