Suara.com - Nikodemus Niko, kandidat doktor Ilmu Sosiologi, Universitas Padjadjaran mengatakan bahwa selama pembangunan Kalimantan dilakukan dengan meminggirkan masyarakat adat, maka stigma keterbelakangan akan tetap hidup. Berikut ulasan Nikodemus:
Beberapa waktu yang lalu, pernyataan Edy Mulyadi yang menghina Kalimantan sebagai tempat jin buang anak serta sarang kuntilanak dan genderuwo menuai kontroversi.
Narasi yang melukai perasaan masyarakat Kalimantan ini merupakan muncul sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang timpang bertahun-tahun.
Meski pemerintah saat ini sedang berencana memindahkan ibu kota ke Kalimantan, narasi itu tetap akan ada selama pendekatan yang digunakan tetap meminggirkan komunitas lokal dan masyarakat adat.
Kebijakan timpang pemerintah
Kesenjangan dan ketidakmerataan pembangunan pada dasarnya terjadi sejak jaman pemerintahan Orde Baru. Kesenjangan pembangunan antara wilayah pulau Jawa dengan wilayah Kalimantan pun masih terjadi hingga saat ini.
Keterbelakangan pulau Kalimantan dibanding pulau-pulau lainnya disebabkan karena Kalimantan memiliki ketimpangan yang cukup tinggi, dari sisi pembangunan ekonomi, infrastruktur, maupun pembangunan manusianya.
Ketimpangan ini dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia di wilayah Kalimantan yang tidak merata.

Ketimpangan yang tinggi memunculkan berbagai permasalahan antara lain kecemburuan sosial, kerawanan disintegrasi wilayah, disparitas ekonomi yang makin lebar dan tajam, serta persoalan sosial lainya seperti tindak kriminalitas, konflik antar masyarakat, dan rendahnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Baca Juga: Sah! RUU IKN Jadi Undang-undang No. 3 Tahun 2022 Tentang IKN
Masalah ini agak ironis mengingat Kalimantan memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Sayangnya pengelolaan sumber daya alam ini hanya untuk menguntungkan mereka yang ada di pusat.
Meminggirkan masyarakat adat
Praktik berbagi kue kekuasaan yang tidak asing dipertontonkan pada masyarakat, memunculkan kekuasaan yang terkonsentrasi oleh tokoh-tokoh elit politik dan pengusaha kelas kakap.
Akibatnya, hingga hari ini masyarakat adat belum mendapatkan akses setara dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya yang ada di Kalimantan.
Hasil penelitian saya pada kelompok perempuan pada masyarakat adat Dayak (bagian dari suku Dayak Benawan) di Kalimantan Barat menemukan bahwa kemiskinan yang mereka alami tidak terlepas dari kesetaraan akses mereka terhadap sumber daya.
Salah satu kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak pada masyarakat adat lokal adalah proyek transmigrasi yang diutamakan untuk keluarga transmigran sementara pengelolaan ekspansi lahan lebih lanjut dilakukan oleh pemilik modal.