Ahmad Munir: Banjir Bukan untuk Dihindari tetapi Dikendalikan

Doddy Rosadi Suara.Com
Senin, 16 Februari 2015 | 10:00 WIB
Ahmad Munir: Banjir Bukan untuk Dihindari tetapi Dikendalikan
Ahmad Munir. (suara.com/Doddy Rosadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Banjir kembali menggenang Ibu kota Jakarta.  Banjir merata di semua kawasan, Selasa (10/2/2015) dan Rabu (11/2/2015) lalu.  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta melansir ada 89 daerah di Jakarta yang rawan banjir. Kebanyakan daerah yang rawan ada di utara Jakarta.

Sebenarnya apa yang menyebabkan Jakarta terus dilanda banjir saban tahun. Pakar hidrologi Ahmad Munir tidak membantah jika sejak dulu Jakarta memang sudah banjir. Menurut dia, bisa saja Jakarta bebas banjir. Bagaimana caranya?

Suara.com berbincang dengan Munir di salah satu café di Depok, Jawa Barat. Munir menganalisa penyebab dan solusi banjir dari sudut ilmu hidrologi dan geografi.

Apa sebenarnya permasalahan utama banjir di Jakarta?

Kita kalau bicara banjir harus kembali kepada sistem hidrologi. Dalam sistem hidrologi itu terdapat 5 proses utama. Jika salah satu dari proses itu terganggu, pasti dari keseluruhan proses sistem terganggu.

Kelimanya adalah curah hujan. Ini faktor penentu. Seberapa besar curah hujan yang jatuh pasti akan mempengaruhi seberapa besar banjir di daerah itu. Faktor penerusnya, faktor laju aliran air, laju air yang meresap ke tanah. Ketiga penguapan. Penguapan ini setara dengan penyerapan air ke tanah. Jadi nilainya harus setara. Sisanya, hampir 70 persen air itu ke lari ke laut.

Kalau curah hujan di DKI itu selama 30 tahun terakhir itu 400 mm perbulan. Asumsinya selama 1 bulan air jatuh di daerah itu (Jakarta). Jadi selama 1 bulan akan tertampung air setinggi 4 meter. Bayangkan DAS Ciliwung yang dimulai dari daerah hulu di DKI Jakarta ada 13 DAS yang mengarah ke DKI. DAS Ciliwung mulainya dari Bogor. Air setinggi 4 meter ngalir dalam 1 bulan. Bukan tidak mungkin tanahnya itu mengalami kejenuhann (tidak bisa menyerap air). Tanah di Jakarta, tanah aluvial atau tanah lempung, dalam 3 bulan kalau dihujani, akan jenuh.

Proses seperti itu ada di mana saja?

Cakupannya wilayah DAS (pinggir sungai). Jadi kalau di DKI Jakarta ada 13 sungai besar, masuk dalam 13 DAS. Akumulasi kejatuhan air akan di situ. Akan mengalir ke laut. Jika tanah di DKI Jakarta sudah mengalami kejenuhan, air uang otomatis masuk tidak bisa infiltrasi itu jadi meluap menuju kelaut atau melebar ke kiri kanan sungai. Sangat mustahil dengan 13 sungai yang masuk tadi, kemudian intensitas hujan di wilayah hulunya (Bogor) tinggi. Bahkan menyentu angga 700mm sampai 900mm, itu sangat mustahil tidak terjadi kejenuhan tanah.

Apakah tanah di Jakarta sudah tidak bisa menyerap air?

Kondisi di Januari jelas sudah jenuh. Karena hujan dari hulunya di Bogor ke DKI itu mulai Oktober-November sudah masuk. Bahkan hampir di seluruh Pulau Jawa itu sudah masuk. Rata curah hujannya 100mm atau di atas 1 meter selama 1 bulan.

Bukankah tanah di Jakarta itu terjadi penurunan karena kurang air? Jika hujan datang, berarti air akan mudah menyerap dan meninggikan tanah?

Itu faktor yang berbeda. Penurunan tanah itu faktornya adalah beban tanah, bukan dari proses infiltrasi. Yang terjadi proses natural, land subsidence itu terjadi wilayah karst (tanah batuan kapur). lapisan bawah dari karst itu berongga. Contohnya di daerahh Sukabumi, Kebumen, Klaten, Gunung Kidul. Ada aliran air ada di bawah. Di permukaan tidak muncul.

Di Jakarta ada karst? Di mana?

Kalau di Jakarta tidak ada. Ada tanah jenis karst di Cibinong, tapi dia tidak mendominasi keselurahan. Kemunculan saja. Berupa jenis batuan karst di daerah situ. Di Jakarta semua tanah lempung. Makanya tipologinya kawasan banjir. Seperti Sawah Besar identik dengan tanah berair.

Artinya banjir akan terus ada di Jakarta?

Pendekatannya begini. Belanda datang ke sini (Jakarta) karena tidak bisa menaklukan Banten. Lalu alasannya, Kota Jakarta sama dengan kawasan mereka. Wilayah Amsterdam seperti itu. Sangat jelas Belanda merancang Kota Jakarta tidak untuk kota seperti perencana-perencana lain, planologi non Belanda. Mendesain kota Jakarta sangat mustahil. Awal merencanakan saja sudah mendesain beberap kanal. Di samping itu dilanjutkan Masterplan (tahun) 63-73 juga buat waduk Setia Budi untuk menanggulangi banjir yang sering terjadi di sekitar Thamrin. Pluit juga demikian. Konsep kota Jakarta itu tidak bisa lepas dari konsep tata air, dengan cara pengendalian. Bukan dengan cara seperti pemenuhan RTH (ruang terbuka hijau). Itu item pemenuhan saja.

Secara garis besar, bagaimana semestinya pendekatan untuk mencari solusi banjir di Jakarta?

Pendekatan banjir itu ada 2. Pendekatan ekologi dan teknis. Pendekatan teknis hanya dipakai jangka pendek. Misalnya, wilayah genangan disedot pakai pompa. Dan itu memang yang dikonsepkan Belanda. Banjir di Jakarta akan dikendalikan. Bukan banjir akan dihindari dan bukan banjir akan diharmonisasi. Di Amsterdam, air disedot dan dipompa ke laut.

Jadi kalau ada pakar yang ngomong banjir akan dikendalikan dengan cara ini itu, kita harus baca sejarahnya dulu. Kembali ke pendekatan teknik. Kalau tidak melibatkan sistem terpadu dari sistem DAS dan akan mengendalikan saja, ujung-ujungnya akan buang anggaran untuk pengerukan. Kan sedimentasi akan sangat cepat, nggak bisa ditunggu dalam 10 tahun bebas sedimen. Sekarang dikeruk, besok muncul lagi gitu.

Artinya normalisasi sungai dengan pengerukan tidak sepenuhnya cara ampuh?

Itu salah satu pengendalian. Tapi jangka panjang pengendalian kota Jakarta akan dengan pendekatan ekologi. Kembalikan ekosistem Jakarta itu ke ekosistem hutan. Dengan memperbanyak ruang terbuka hijau itu ada hutan kota, bantaran kali harus hijau. Konsep itu sudah dibabat habis. Dengan membangun tanggul di bantaran Ciliwung itu sudah bukti kuat banjir akan diselesaikan dengan teknik pengendalian murni. Secara pengertian sistem ekologis tidak menyelesaikan masalah. Jakarta akan terus mengalami banjir.

Untuk menanggulangi banjir jangka pendek, masalah apa yang paling dominan?

Perbaiki drainase. Karena kerapatan drainase itu layak atau tidak? Dengan kepadatan penduduk tertentu, penggunaan tanah dan gedung perkantoran. Mungkin nggak drainase ukuran segitu (kecil) bisa menampung air? Selama 5-10 tahun memang harus begitu, digenjot dengan teknis. Tapi jangka panjang pendekatan ekologis. Mau tidak mau pemukiman yang ada di zona kawasan resapan air yang ditetapkan UU atau Pergub, harus diterapkan. Karena RT/RW sudah ada.

Bagaimana dengan pembangunan giant sea wall, apakah itu salah satu cara ampuh atasi banjir?

Ada 2 kubu kuat dalam konteks penanganan banjir. Pertama ekologis, acualnnya lingkungan. Yang kedua, acuannya teknis. Kalau dikaitkan, dengan historis DKI yang ingin dibangun setara dengan kota Amsterdam. Akan seperti itu (membangun tanggul raksasa). Jadi benar-benar pemerintah dalam penanganan banjir di Jakarta itu teknik.

Ekologis hanya pelengkap. Seperti sumur biopori. Seharusnya seimbang. Giant sea wall itu salah satu teknik, buktinya Belanda itu berhasil. Dengan meninggilan tanggul 32 meter. Mampu memompa terus air yang ada di dalam. Tapi yang rugi ekosistemnya.

Reklamasi besar-besaran itu akan ditentang para ekologis. Sementara Ahok lebih pro jangka pendek, seperti pompa, listrik digenjot terus kan. Murni nalar pikir teknik. Tapi okay aja untuk jangka pendek.

Banyak pakar juga yang 'menyalahkan' masa lalu dengan menyebut toh dari dulu Jakarta sudah banjir. Menurut Anda itu benar?

Masalahnya itu pertumbuhan pemukiman yang begitu cepat. Masalahnya pertumbuhan terjadi di zonasi yang seharusnya tidak dibangun. Jadi jakarta itu, dibangun Belanda sudah melalui hitung-hitungan. Bahkan atlas tahun 1943, itu bayak sawah dan kebun. Tapi berapa puluh tahun ini bisa kita liat lah. Begitu cepat, itu banjir yang disalahkan yah itu. Perubahan land use (penggunaan lahan) yang begitu cepat.

Kalau di ekologi itu ada 3. Waktu, ruang, dan manusia. Ketiga konsteks itu sangat dinamis. Kalau tidak dibaca dalam konteks perencanaan. Banjir makin besar.

Dulu belum diidentifikasi sebagai derah banjir. Karena pemukiman belum ada. Begitu pemukiman tumbuh dengan cepat. Orang beli rumah kan dengan berpikir paling banjir beberapa hari. Sementara pengembang (perumahan) cari tanah yang murah. Di samping itu mereka membuat konsep yang sedemikian rupa seolah-olah tidak banjir. Justru menambah masalah. Saya dalam masalah ini, benar-benar menyalahkan perubahan land use begitu cepat.(Pebriansyah Ariefana/Doddy Rosadi)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI