Suara.com - KONTROVERSI penulisan ulang sejarah kembali mencuat ke ruang publik setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan keraguannya terhadap terjadinya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Pernyataan itu sontak memantik kemarahan banyak pihak, terutama para pegiat hak asasi manusia, korban, serta keluarga korban.
Di tengah upaya kolektif bangsa untuk tidak melupakan luka sejarah, Fadli Zon justru dianggap tengah membuka jalan menuju “penghapusan jejak” tragedi kemanusiaan.
Bukan hanya soal pilihan kata, pernyataan Fadli Zon dinilai sarat agenda politik. Ia disebut tengah menjalankan proyek diam-diam untuk merombak narasi sejarah nasional agar sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu—termasuk tokoh-tokoh militer yang pernah disebut dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Salah satu tokoh yang ikut menyusun dan menyaksikan langsung kerja tim tersebut, Sandyawan Sumardi, menyebut langkah Fadli Zon sebagai bentuk 'kesadaran penuh untuk mengingkari kebenaran.'
Laporan TGPF mendokumentasikan puluhan kasus kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan massal, penganiayaan, serta pelecehan terhadap perempuan Tionghoa selama dan setelah kerusuhan.
Semua data itu diverifikasi secara medis dan hukum, termasuk wawancara dengan sejumlah jenderal aktif saat itu, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, hingga Kepala Badan Intelijen ABRI.
Berikut wawancara khusus Sandyawan Sumardi dengan Suara.com:
Apa tanggapan Anda terkait pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998?
Baca Juga: Aksi Boneka Babi di Kemendikbud: Protes Gelar Pahlawan Soeharto dan Pernyataan Fadli Zon Soal '98
Pertama, saya tidak yakin bahwa Fadli Zon itu sekadar salah bicara. Saya kira dia sadar betul dengan apa yang ia katakan. Dia orang pintar, dan saya yakin dia tahu konsekuensi dari ucapannya.
Apa dasar Anda mengatakan bahwa Fadli Zon sebenarnya paham konteks sejarah peristiwa tersebut?
Saya melihat Fadli Zon sangat paham apa itu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Itu adalah tim resmi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden oleh Presiden Habibie kala itu, dan diikuti oleh 17 lembaga negara. Di dalamnya ada Kejaksaan Agung, Kementerian Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial, dan lain-lain. Termasuk juga TNI-Polri yang waktu itu masih tergabung dalam ABRI.
Ini adalah tim yang sangat serius. Bahkan jika dibandingkan dengan TGPF di negara-negara lain, ini salah satu yang paling komprehensif.
Saya ingat betul TGPF dibentuk karena adanya desakan dari negara-negara sahabat, menyikapi laporan kerusuhan besar yang terjadi. Gema peristiwanya terdengar hingga ke seluruh dunia. Salah satu yang paling vokal saat itu adalah komunitas Tionghoa di luar negeri (overseas Chinese).
Siapa saja yang terlibat dalam TGPF dan bagaimana proses investigasinya dilakukan?