Raymond Tjandrawinata: Melihat Potensi Obat Herbal di Indonesia

Senin, 17 Oktober 2016 | 07:00 WIB
Raymond Tjandrawinata: Melihat Potensi Obat Herbal di Indonesia
Raymond R Tjandrawinata. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)

Lebih mengembangkan produk dari kimiawi, latarbelakang pendidikan saya farmakolog molukuler. Ada beberapa bahan alam yang saya pelajari, tapi tidak dalam. Namu ada paradigma yang sama dan bisa diaplikasikan ke bahan apa saja. Termasuk bahan alam.

Mengapa Anda tidak memilih profesi sebagai dokter? Sebab farmakolog saat itu belum populer…

Saat itu memang profesi ini belum banyak. Tapi saat saya S1, saya suka bermain di laboratorium. Di S2 lebih suka lagi dengan berbagai eksperimen, sampai merasa itu lah tempat saya hidup. Saat itu saya mempelajari produk poliamin.

Poliamin adalah bahan natural yang ada di dalam tubuh manusia, tapi ternyata kanker sel itu memproduksi secara banyak. Sehingga saya mencaritahu bagaimana cara mengurangi kanker sel dengan cara mengurangi jumlah poliamin. Itu saya pelajari sampai disertasi.

Itu memberikan kepuasan saat saya menemukan suatu yang baru. Karena hasilnya kelihatan. Kemudian saya juga melakukan penelitian saat postdoctor study, saya meneliti prostaglandin. Saya mempelajari kanker prostat, jika prostaglandin dikurangkan maka kanker prostat berkurang. Begitu terjun ke perusahaan farmasi, hasil penemuan itu terlihat dan digunakan oleh dokter.

Pendidikan S1 sampai S3 pendidikan di luar negeri, apakah pendidikan yang Anda jalankan tidak ada di Indonesia?

Saat itu pemilihan saya saja. Tapi saat mau berangkat, saya tidak tahu mau jadi apa. Tapi di sana menemukan ini yang akan saya lakukan seumur hidup. Full saya di Amerika.

Apakah sesulitan Anda saat pertama kali mengembangkan obat dari bahan herbal di Indonesia?

Saat itu fasilitas sangat belum tersedia. Tapi yang pertama tantangannya, mengembangkan sumber daya manusia. Saya banyak traning, saat itu belum ada laboratorium khusus mengembangkan obat dari bahan herbal. Di Dexa, awalnya laboratoriumnya untuk pengembangkan formulasi.

Tahun 2005, di Indonesia belum banyak melakukan uji klinik. Jadi tantangan lain, membuat infrastruktur untuk uji klinik. Mulai dari SDM, desain penelitian, sampai melatih dokter untuk melakukan uji kliik yang baik.

Berapa jumlah obat yang sudah Anda temukan?

Ada 9 obat. Di antaranya obat diabetes, sudah 30 ribu pasien yang sudah menerima obat ini. Kedua, DISOLF. Obat dari isolasi protein cacing tanah yang sudah dipakai para kardiolog dan neurology untuk mengobati penyakit thrombosis atau penyumbatan darah. Misal stroke dan jantung. Lalu, dismenore yaitu untuk mengatasi sakit karena endometriosis. Ada juga, redasit untuk mengatasi asam lambung. 

Berapa jumlah paten yang Anda daftarkan?

Di dalam dan luar negeri ada 20 paten. Ada 4 paten diberikan Dirjen HAKI di Indonesia dan 16 paten diberikan di luar negeri. Ada dari Amerika Serikat, Eropa dan Hong Kong.

Seberapa besar usaha Anda dalam membuat satu penemuan?

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI