Jacky Manuputty: Sikapi Intoleransi Bukan Bertahan, Tapi Melawan

Senin, 05 Maret 2018 | 07:00 WIB
Jacky Manuputty: Sikapi Intoleransi Bukan Bertahan, Tapi Melawan
Jacky Manuputty. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Berarti jadi ini akan dilakukan jangka panjang...

Ini persoalan jangka panjang. Untuk jangka pendek, transparansi, kepastian hukum, dan lain-lain, itu harus dilakukan sambil merajut jejaring sosial yang ada untuk menjalin kekuatan.

Anda dinilai berhasil menggagas sebuah gerakan bernama ‘Live In’. Gerakan itu mengurangi ketegangan SARA di masa konflik Poso dan Ambon. Bisa Anda ceritakan, seperti apa gerakan itu?

Kami pertemukan antara anak-anak SD dari muslim dan agama lain. Mereka berkumpul, setelah Magrib, kita break. Yang muslim salat, dilihat oleh yang agama lain.

Setelah selesai, yang melihat salat pada tepuk tangan. Lho, kenapa tepuk tangan? Mereka ini baru melihat hal baru yang tidak bisa dilihat di komunitasnya. Dan itu menyenangkan bagi mereka, namun sesungguhnya membuat miris.

Dampak dari konflik yang telah membelah masyarakat beberapa tahun menyisakan kondisi segregasi baik geografis maupun mental. Segregasi tidak bisa dibongkar, dominan wilayah 90 persen terbelah. Tetapi yang paling penting, menumbuhkan masyarakat plural yang sehat.

Pascakonflik itu, masyarakat kota Ambon telah terpisah secara geografis berdasarkan agama. Komunitas Kristen berada di belahan selatan Pulau Ambon. Sedangkan komunitas Muslim berada di belahan utara. Komunitas di dalam Kota Ambon sendiri terpisah berdasarkan desa, sebab ada desa yang mayoritas Kristen dan ada desa yang mayoritas Muslim.

Saat itu, saya merasakan hilangnya kebiasaan perjumpaan di ruang domestik, berarti ini oposisi dari sebuah ruang publik seperti pasar, kantor, sekolah, rumah sakit, atau juga lapangan.

Kami mendorong aktivitas bersama kembali ke ruang domestik. Dulu sebelum konflik saling tetanggaan, (kini) anak-anak tidak tumbuh lagi merasakan ada agama lain. Di dalam Kota Ambon yang kecil itu saja, asepek geografis sudah terbelah. Belum lagi kaplingan-kaplingan agama.

Makanya perbanyak mengintervensi ruang domestik, agar memperbanyak ruang perjumpaan antar orang yang berbeda keyakinan.

Isu-isu besar yang kita bicara pluralisme, cita-cita kebangsaan, tidak akan membumi jika kita tidak saling bersinergi sebagai tetangga. Sangat banyak isu publik untuk dihadapi dan dikelola bersama.

Program 'Live In' adalah upaya strategis untuk mendorong orang mengalami perjumpaan di ruang-ruang domestik dari sebuah kondisi geografis yang terbelah berdasarkan garis agama.

Saat itu, apa tantangan yang Anda hadapi?

Pertama, harus mengalahkan ego, butuh volunteerism yang kuat. Target yang terkadang sangat egoistis, kadang-kadang harus dikalahkan. Pendidikan publik, tidak mudah mengelola publik yang beragam. Prasangka, ketakutan, trauma, dan sejenisnya, akan bertumbuh subur bila orang tak berinteraksi dalam ruang-ruang domestik yang terbelah. Itu harus dilawan dengan cara membiasakan masyarakat berinteraksi lintas kelompok dalam ruang-ruang domestiknya.

Selain itu, membangun kepercayaan itu butuh berlapis-lapis, butuh trik mengangkat ke layer 1, 2, lalu 3 kita jalani. Hal-hal baik yang dirajut di masyarakat harus diangkat ke level perumusan kebijakan publik yang dikelola oleh pemerintah dan pemangku kebijakan lainnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI