Jadi ternyata, kalau kita bicara soal kaum netizen dan milenial, ada 63,39 (persen) netizen itu dari Facebook, mereka tidak mengutarakan preferensi politiknya secara terbuka di timeline mereka. Artinya bukan berarti mereka tidak punya pilihan, ya. Mereka punya pilihan, tapi mereka sungkan untuk menyampaikan itu kepada masyarakat secara terbuka. Sementara sisanya, mereka sudah punya pilihan. Ada yang ke 01, ada yang milih 02, ada juga yang galau. Ini kalau di Facebook.
Di Twitter juga bisa kita lihat datanya. Kalau di Pilpres, sebenarnya tadi kelihatan kontestasi bulan ke bulan itu 250 sampai 350 ribu percakapan. Kontestasi ini semakin ketat dari hari ke hari, dan ini sampai tadi malam (28 Maret), persaingan semakin ketat. (Bisa) Kita lihat siapa saja yang banyak bicara soal Pilpres.
![Politisi Partai Nasdem Tina Talisa, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat & Penegakan Etika Pers Dewan Pers Imam Wahyudi, Staf Ahli Menkominfo Hendri Subiakto, Direktur Komunikasi Indonesia Indikator Rustika Herlambang, dan Prita Laura memberi paparan saat Talkshow Politik Tanpa Hoax di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (29/3). [Suara.com/Muhaimin A Untung]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/03/29/16710-talkshow-politik-tanpa-hoax.jpg)
Semakin dekat pemilihan (apakah) semakin banyak jumlah pembicaraannya?
Betul sekali. Ada peningkatan cukup tajam khususnya di wilayah Twitter, setiap kali menjelang Pilpres itu terjadi lonjakan yang luar biasa. Kalau dulu sebelum Januari hanya sekitar 1 juta percakapan, tapi sekarang itu bisa mencapai 5,6 juta dalam sebulan, hanya untuk berbicara paslon tertentu. Artinya ada tingkat kenaikan luar biasa terkait dengan jumlah percakapan dan jumlah akun.
Dan ada satu sisi menarik (lainnya) adalah kenaikan jumlah netizen perempuan. Jadi komposisi antara perempuan dan laki-laki bicara politik itu dulunya hanya di bawah 25 persen, mereka sepertinya kurang atau tidak bisa mengekspresikan pilihannya. Tapi ternyata menjelang Pilpres itu 35 sampai 40 persen. Menariknya lagi, setiap debat nih, debat itu rata-rata mencapai 40 persen (netizen perempuan).
(Jadi) Perempuan cukup vokal ya, untuk membicarakan debat?
Betul sekali. Dan hal yang satu lagi adalah terkait kaum milenial. Jadi ternyata, antara 75 sampai 80 persen mereka yang merespon soal politik dan Pilpres (itu) adalah kaum milenial.
Peran dari para buzzer di sini seperti apa? Tadi katanya robot-robot itu ada? Apakah akan ada lagi buzzer seperti Saracen yang terstruktur?
Kalau bicara buzzer dan mesin politik, itu terkait bagaimana kita bisa meningkatkan satu isu jadi sebuah trending topic. Jadi, trending topic itu salah satu hal yang menjadi perhatian netizen di mana pun.
Baca Juga: Henri Subiakto: Kalau Indonesia Otoriter, Mungkin Bisa Bebas Hoaks
Saya punya catatan menarik tentang buzzer. Jadi dulu itu, komposisi terkait dengan akun mesin sebelum ada kebijakan dari Kominfo, itu yang namanya buzzer bisa besar sekali. Bahkan saat saya live di Metro TV, itu buzzer-nya lebih dari 50 persen pada saat itu. Ternyata setelah ada kebijakan dari Kominfo, yang biasanya sangat tinggi itu tinggal 4 persen komposisinya jika dibandingkan dengan akun-akun manusia. Jadi secara jumlah juga sedikit. Cuma belakangan ini mulai naik lagi. Jadi buzzer sudah mulai meningkat, rata-rata 6 sampai 7 persen dari setiap komposisi percakapan.
Apakah seseorang yang tidak menyebarkan informasi sesuatu, tetapi dia mengemas percakapan sedemikian rupa menjadi seolah-olah pernyataannya sendiri, tapi menajamkan berita yang tersebar, (itu) masuk hoaks nggak?
Kayaknya (soal ini) nggak tepat kalau ke saya. Saya cuma bisa menjelaskan apakah hoaks itu bisa ditangkap atau tidak oleh netizen. Mungkin ada yang di bidang hukum yang bisa menjelaskan, apakah (itu) masuk hoaks atau tidak.
Kalau pertanyaannya dibalik, ditangkap nggak yang seperti itu oleh netizen?
Jadi, netizen itu dia bisa mengambil hoaks itu (berdasarkan) sesuatu yang 'seksi'. Jadi ada hoaks yang dia bisa masif, tapi juga ada hoaks yang sangat meresahkan. Seperti (soal) ibu-ibu itu, ternyata dia tidak banyak bergerak liar di media sosial. Jadi mereka sepertinya, kalau dikatakan by design, bisa jadi by design. Karena memang ada isu tertentu yang dia dipelihara, jadi tiap bulan ada, tapi juga ada isu yang sifatnya sekali selesai.