Suara.com - Situasi pandemi nampaknya tak menghalangi Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga untuk tetap berkreasi. Tahun ini, Festival Film Purbalingga (FFP) akan diselenggarakan dengan cara virtual sepenuhnya pada 21 – 28 Agustus 2021 mendatang.
FFP merupakan program tahunan CLC Purbalingga Jawa Tengah sejak 2006 lalu yang selalu dinanti-nanti sineas se-Barlingmascakeb (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, dan Kebumen). Namun lantaran pandemi COVID, penyelenggaraan FFP terpaksa harus mengubah pola lama dengan pola baru.
Seperti diberitakan sebelumnya, FFP ke-14 tahun 2020 sempat diselenggarakan semi virtual yakni penayangan melalui streaming Youtube dan sebagian lainnya penonton datang langsung. Pelaksanaan FFP akhirnya bertransformasi dari nonton bareng secara langsung, berubah menjadi nonton bareng secara virtual.
Lika-liku dalam proses penyelenggaraan FFP dilalui dengan berbagai kondisi. Tak ubahnya tahun ini, CLC Purbalingga harus menerapkan pola baru dalam sepanjang sejarah.
CLC Purbalingga sangat melekat dengan sosok yang bernama Bowo Leksono. Ia merupakan pendiri CLC Purbalingga yang hingga kini masih aktif berkontribusi baik melalui karya maupun peranannya. Berikut adalah hasil wawancara khusus Suara.com bersama Direktur CLC Purbalingga Bowo Leksono.
Bagaimana tujuan dan sejarah FFP yang berdiri sejak 2006?
Saya ingin menarik jauh sebelum itu. Dari mulai saya lulus kuliah pada tahun 2000 kemudian nganggur setahun. Saya di kuliah Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) ikut aktif teater. Kemudian tahun 1994 keluar dan lanjut ke Universitas Diponegoro (Undip) fakultas hukum tahun 1995. Saat di Undip tidak ada teater, jadi saya akhirnya bikin.
Saat jadi mahasiswa aktif di teater jarang kuliah, saat itu masa reformasi. Saya merasa menemukan diri saya dengan berkesenian walaupun kuliahnya nggak nyambung. Saat itu yang penting kuliah. Beda kalau sudah bisa berhitung seperti sekarang jika ternyata biaya kuliah bisa untuk beli truk.
Nah, sebelum tahun 2000 sudah mulai masuk era digital. Tahun 2001 saya ke Jakarta menjadi wartawan dan sering meliput event film pendek. Banyak festival video pendek di Jakarta yang saya datangi. Dari situlah saya terinspirasi. Saya berasumsi bahwa melalui karya film kita bisa menyampaikan pesan.
Jika sebelumnya menyampaikan pesan melalui teater dan puisi, sekarang bisa melalui film. Tapi saya pikir bentuknya harus berbasis komunitas untuk bisa berdiri.
Kebetulan, di rumah dan kampus ada teater. Saat itu saya mengajak mereka untuk membuat komunitas film. Saya meyakinkan mereka dengan membeli kamera yang pada saat itu harga kamera masih relatif mahal.
Saat itu saya tergolong wartawan muda. Tapi sudah bergabung dengan wartawan senior yang meminta kebijakan dewan karyawan. Imbasnya saya di-PHK dan diberi uang saku Rp 25 juta. Berbekal dari uang saku tersebutlah, saya jadikan modal awal untuk mendirikan komunitas film.
Tahun 2004, saya mulai produksi di rumah yang berada di Bukateja, Purbalingga. Selama produksi, saya terus komunikasi dengan teman-teman film di Jakarta. Saya diskusi tentang proses editing dan sebagainya. Ketika sudah beres produksi, satu-satunya cara untuk menyuarakan film adalah dengan ditonton banyak orang.
Saat itu, saya masuk ke sekolah-sekolah (SMA/SMK sederajat) dengan menggunakan jaringan guru. Tapi mentok di kebijakan kepala sekolah. Saat itu kepala sekolah masih era orang tua, jadi masih menganggap film adalah hal yang mustahil apalagi di daerah seperti Purbalingga. Mereka masih membandingkan dengan situasi di kota yang sudah serba ada dan bisa.
Pada tahun-tahun berikutnya banyak kepala sekolah yang diganti oleh yang lebih muda. Saat itu bersamaan muncul kebijakan bahwa film bisa masuk sekolah melalui ekstrakurikuler. Saya membuat strategi dengan "menculik" siswa untuk menjaring siswa bergabung tidak hanya sebagai penonton. Jadi setelah nonton film, ada sesi diskusi, nah di situlah momen yang saya manfaatkan untuk mengajak mereka belajar membuat film.