Suara.com - Mendaki gunung nyatanya tidak sekadar aktivitas fisik yang menguras energi, tapi juga jadi sarana healing dan proses menempa diri. Hal tersebut yang telah dibuktikan oleh pegiat kegiatan alam Khansa Syahlaa.
Usianya baru 17 tahun, tetapi Khansa rupanya telah mendaki sebanyak 81 gunung sampai pada pertengahan Juli 2023. Ia mendaki gunung sejak usianya baru lima tahun. Sampai sekarang, siswa kelas 12 SMA Labschool Rawamangun, Jakarta, itu masih terus ambisius mengejar berbagai targetnya pergi ke gunung-gunung tertinggi juga unik.
Akan tetapi, sadar akan status dirinya yang juga masih seorang anak dan kewajibannya bersekolah, Khansa mensyaratkan kepada dirinya sendiri juga harus tetap memprioritaskan pembelajaran di sekolah.
"Aku bikin syarat ke diri aku sendiri, kalau nilainya nggak bagus, nggak boleh naik gunung. Jadi memang naik gunung itu sebagai reward buat aku nilai bagus. Jadi kalau misalnya lagi ujian, banyak remednya, udah nggak boleh naik gunung sama bunda ayah," cerita Khansa ditemui suara.com dikawasan Kota Wisata, Cibubur, beberapa waktu lalu.
Meski harus selalu bersusah payah latihan fisik setiap kali akan mendaki ke gunung tinggi yang tuju, bagi Khansa itu bukan persoalan besar. Terlebih, dirinya juga harus selalu bisa membagi waktu antara aktivitas sekolah juga kegiatannya di alam.
Tetapi justru hal tersebut yang membuat anak kedua dari tiga bersaudara itu merasa menikmati setiap momen di masa anak-anaknya. Suara.com berkesempatan untuk melakukan wawancara khusus dengan Khansaa Syahlaa terkait pengalamannya selama ini menjadi pendaki.
Benarkah Khansa jadi paham tentang makna hidup dari perjalanannya selama di gunung? Berikut ini wawancara Khansa Syahlaa selengkapnya.
Lagi sibuk apa beberapa bulan terakhir?
Aku baru naik kelas 3 (SMA), jadi mulai persiapan cari bimbel. Kalau terkait kegiatan pendakian, kemarin baru ikut lomba Mantra Summit Challenge. Itu aku ke-3 Welirang, jadi sebulan ke belakang latihan fisiknya untuk ikut itu. Sisanya aku juga lagi latihan dan merancang proposal untuk pendakian selanjutnya ke gunung Aconcagua di Argentina.
Baca Juga: Dua Pendaki Hilang di Gunung Sibuatan, Terpisah dari Rombongan Saat Turun dari Puncak
Khansa sudah naik gunung dari usia 5 tahun, momen apa dan kapan kamu tertarik sendiri dengan kegiatan alam?
Ayah aku udah naik gunung dari SMA. Dan sebenarnya dari umur 9 bulan aku udah diajak ke gunung, ikut camping. Makin lama ayah sering cerita waktu pengalamannya di gunung, lama-lama tertarik juga, kayaknya seru juga. Akhirnya umur 5 tahun aku sekeluarga naik ke Gunung Bromo. Awalnya memang kayak cranky gitu, pertama kali pasti capek, dingin. Tapi ketika sampai di puncak kok seru ya. Aku pengen lagi.
Akhirnya umur 7 tahun aku ke Rinjani. Itu ayah sengaja nggak sampai ke puncak. Itu strategi Ayah cuma naruh aku sampai di Plawangan supaya aku ada rasa penasaran dulu sama gunung ini, supaya nanti ingin balik lagi dan naik gunung itu nggak segampang itu, harus step by step.
Umur 8 tahun aku naik gunung Semeru. Waktu itu (film) 5 cm rilis, itu yang menginspirasi aku juga. Jadi bisa dibilang Semeru itu juga gerbang utama aku suka naik gunung. Dan itu gerbang pertama aku 7 summit (Indonesia). Dari Semeru aku naik Rantemario (Latimojong) di Sulawesi, lalu naik Kerinci di Sumatera, naik gunung Binaiya di Maluku. Itu kita mendaki maraton 5 hari, turun sehari kemudian terbang ke Lombok naik Rinjani.
Dari Rinjani langsung ke Bukit Raya, Kalimantan. Habis itu terakhir gunung Cartenz di Papua. Jadi aku selesai program 7 summits Indonesia itu dalam waktu 2,5 tahun. Selesai di usia 11 tahun.
Menurut Khansa, apa serunya berkegiatan di alam dibandingkan rebahan di rumah?