Wawancara Eksklusif: Sandyawan Bongkar Rekomendasi TGPF yang Diabaikan Negara

Kamis, 26 Juni 2025 | 17:52 WIB
Wawancara Eksklusif: Sandyawan Bongkar Rekomendasi TGPF yang Diabaikan Negara
Aktivis Sosial, Mantan Anggota TGPF Sandyawan Sumardi. [Suara.com/AI-ChatGPT]

Suara.com - KONTROVERSI penulisan ulang sejarah kembali mencuat ke ruang publik setelah Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan keraguannya terhadap terjadinya pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.

Pernyataan itu sontak memantik kemarahan banyak pihak, terutama para pegiat hak asasi manusia, korban, serta keluarga korban.

Di tengah upaya kolektif bangsa untuk tidak melupakan luka sejarah, Fadli Zon justru dianggap tengah membuka jalan menuju “penghapusan jejak” tragedi kemanusiaan.

Bukan hanya soal pilihan kata, pernyataan Fadli Zon dinilai sarat agenda politik. Ia disebut tengah menjalankan proyek diam-diam untuk merombak narasi sejarah nasional agar sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu—termasuk tokoh-tokoh militer yang pernah disebut dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Salah satu tokoh yang ikut menyusun dan menyaksikan langsung kerja tim tersebut, Sandyawan Sumardi, menyebut langkah Fadli Zon sebagai bentuk 'kesadaran penuh untuk mengingkari kebenaran.'

Laporan TGPF mendokumentasikan puluhan kasus kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan massal, penganiayaan, serta pelecehan terhadap perempuan Tionghoa selama dan setelah kerusuhan.

Semua data itu diverifikasi secara medis dan hukum, termasuk wawancara dengan sejumlah jenderal aktif saat itu, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, hingga Kepala Badan Intelijen ABRI.

Berikut wawancara khusus Sandyawan Sumardi dengan Suara.com:

Apa tanggapan Anda terkait pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998?

Baca Juga: Aksi Boneka Babi di Kemendikbud: Protes Gelar Pahlawan Soeharto dan Pernyataan Fadli Zon Soal '98

Pertama, saya tidak yakin bahwa Fadli Zon itu sekadar salah bicara. Saya kira dia sadar betul dengan apa yang ia katakan. Dia orang pintar, dan saya yakin dia tahu konsekuensi dari ucapannya.

Apa dasar Anda mengatakan bahwa Fadli Zon sebenarnya paham konteks sejarah peristiwa tersebut?

Saya melihat Fadli Zon sangat paham apa itu Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Itu adalah tim resmi yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden oleh Presiden Habibie kala itu, dan diikuti oleh 17 lembaga negara. Di dalamnya ada Kejaksaan Agung, Kementerian Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial, dan lain-lain. Termasuk juga TNI-Polri yang waktu itu masih tergabung dalam ABRI.

Ini adalah tim yang sangat serius. Bahkan jika dibandingkan dengan TGPF di negara-negara lain, ini salah satu yang paling komprehensif.

Saya ingat betul TGPF dibentuk karena adanya desakan dari negara-negara sahabat, menyikapi laporan kerusuhan besar yang terjadi. Gema peristiwanya terdengar hingga ke seluruh dunia. Salah satu yang paling vokal saat itu adalah komunitas Tionghoa di luar negeri (overseas Chinese).

Siapa saja yang terlibat dalam TGPF dan bagaimana proses investigasinya dilakukan?

Tim ini dipimpin oleh Pak Marzuki Darusman. Selain perwakilan lembaga negara, ada juga wakil-wakil dari masyarakat sipil seperti KH Said Aqil Siroj, saya sendiri, Ibu Saparinah Sadli dari Komnas HAM saat itu, dan almarhum Asmara Nababan.

TGPF juga punya hak untuk meminta dokumen rahasia dari lembaga negara terkait. Prosesnya sangat ketat dan lama, dengan sistem verifikasi dan pendataan yang serius.

Kalau Fadli Zon tidak percaya pada hasil temuan ini, saya kira itu lebih karena isi rekomendasinya menyentuh langsung eksistensi politik tokoh-tokoh pemerintahan saat ini. Dalam laporan itu, misalnya, disebutkan keterlibatan Letjen Prabowo (saat itu Panglima Kostrad), dan juga Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin.

Apa saja rekomendasi yang diajukan TGPF kepada pemerintah?

Rekomendasi utama TGPF waktu itu adalah perlunya penyelidikan lebih lanjut ke arah proses yudisial. Artinya, dari penyelidikan harus masuk ke tahap penyidikan.

Selain itu, pemerintah juga didesak memberikan jaminan keamanan terhadap saksi dan korban, membentuk program perlindungan saksi dan korban (Victim and Witness Protection Program), serta menyusun undang-undang untuk mencegah kejadian serupa terulang.

Rekomendasi lain adalah memberikan rehabilitasi dan kompensasi kepada korban, meratifikasi konvensi internasional anti-diskriminasi rasial, dan terakhir, membersihkan semua bentuk premanisme di masyarakat, termasuk melarang penggunaan atribut militer oleh organisasi massa yang cenderung mengarah ke paramiliterisme.

Sayangnya, banyak dari rekomendasi ini belum dipenuhi hingga kini.

Apakah laporan TGPF ini bisa diverifikasi kebenarannya secara dokumentatif dan hukum?

Tentu bisa. Laporan TGPF sudah dipublikasikan ke masyarakat, dan selain ringkasan eksekutif yang beredar, ada enam setengah bendel dokumen yang sangat tebal. Di situ tercatat seluruh proses investigasi, termasuk wawancara terhadap hampir semua pejabat militer kala itu: Jenderal Prabowo, Jenderal Sjafrie, Jenderal Wiranto, dan bahkan Zacky Anwar Makarim, Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI) saat itu.

Jadi, kalau Fadli Zon menyatakan tidak percaya hanya karena dia tidak terlibat dalam prosesnya, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyangkal kebenarannya.

Bagaimana dengan jumlah korban kekerasan seksual yang disebutkan dalam laporan? Apakah itu bisa dikategorikan sebagai pemerkosaan massal?

Jumlah yang diverifikasi TGPF, yang juga sebelumnya dikumpulkan oleh Tim Relawan Kemanusiaan tempat saya menjadi koordinator, memang menunjukkan 85 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Dari jumlah itu, 52 korban adalah korban pemerkosaan, 14 adalah korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban mengalami serangan seksual, dan 9 korban mengalami pelecehan seksual.

Memang ada perbedaan definisi antara hukum Indonesia dan standar internasional. Menurut ketentuan PBB, semua bentuk kekerasan seksual, termasuk pelecehan, masuk dalam kategori pemerkosaan. Tapi TGPF mengikuti hukum Indonesia, yang membedakan secara tegas antara pemerkosaan dan pelecehan.

Ini pun sudah diverifikasi berulang oleh dokter dan rumah sakit yang menangani korban. Kalau jumlah segitu saja dianggap belum cukup untuk disebut 'massal', pertanyaannya: berapa lagi jumlah korban yang dianggap layak untuk menyebutnya pemerkosaan massal?

Ini bukan perkara angka semata. Ini perkara pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius.

Bagaimana dampaknya terhadap korban dan keluarganya bila pernyataan seperti Fadli Zon terus diulang di ruang publik?

Yang sering tidak dibayangkan adalah bagaimana korban dan keluarga mereka mendengar pernyataan seperti itu. Coba bayangkan jika yang menjadi korban itu saudara perempuan Anda sendiri—mbakyu atau adik Anda. Lalu diminta untuk muncul dan membuktikan. Itu sangat menyakitkan dan traumatis.

Pernyataan Fadli Zon itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap psikologi trauma. Alih-alih memberi empati, dia justru memperkuat budaya conspiracy of silence—sebuah bentuk pembungkaman terhadap para korban. Dan ini, saya kira, dilakukan karena sekarang dia dalam posisi berkuasa.

Apa penilaian Anda terhadap penulisan ulang sejarah yang saat ini digagas oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan?

Saya melihat ini jelas merupakan bagian dari upaya penulisan ulang sejarah. Kalau bukan, tentu peristiwa-peristiwa seperti pemerkosaan massal Mei 1998 tidak akan dipertanyakan kembali. Ini terlihat sebagai situasi mumpung—mumpung sedang berkuasa, mumpung ada kesempatan.

Tapi bisa jadi ia akan menyadari kesalahannya setelah melihat reaksi masyarakat yang sangat luas belakangan ini.

Apakah Anda melihat respons terhadap pernyataan Fadli Zon hanya datang dari dalam negeri?

Tidak. Reaksi juga datang dari luar negeri. Saya bahkan tahu, ketika Fadli Zon datang ke Belanda, dia turut didemo di sana. Isu yang diangkat pun sama: soal upaya penghilangan substansi sejarah, terutama terkait pelanggaran hak asasi manusia, bukan hanya pemerkosaan.

Apa dampak dari penyangkalan peristiwa-peristiwa tersebut bagi para korban dan keluarganya?

Bayangkan perasaan orang tua yang anaknya diperkosa dan dibunuh, lalu kemudian mendengar pernyataan bahwa hal itu dianggap tidak pernah terjadi. Itu sungguh menyakitkan, bahkan absurd.

Perlu dipahami bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya pada 12–15 Mei 1998, tapi juga terjadi sebelum dan sesudahnya. Salah satu kasus yang saya ingat betul adalah seorang mahasiswi Universitas Tarumanagara (Untar).

Ia diperkosa saat tidur siang, dan saya mendengar langsung dari dokternya, vaginanya ditusuk hingga mengalami pendarahan hebat. Itu terjadi setelah kerusuhan.

Kemudian ada Ita Martadinata, yang dibunuh karena hendak memberikan kesaksian ke PBB. Lehernya digorok.

Apakah kejadian itu benar-benar terdokumentasi dan mendapat perhatian serius dari negara saat itu?

Ya. Sehari setelah Ita dibunuh, saya bersama beberapa kolega membagi tugas. Ibu Ita Nadia dan Ibu Karlina melayat ke rumah duka, sementara saya diundang oleh Gus Dur untuk mengikuti istighasah Nahdlatul Ulama.

Aktivis Sosial, Mantan Anggota TGPF Sandyawan Sumardi. [Tangkapan layar]
Aktivis Sosial, Mantan Anggota TGPF Sandyawan Sumardi. [Tangkapan layar]

Dalam doa bersama itu, Gus Dur secara terbuka mengecam kekerasan seksual yang terjadi, sama seperti pidato Presiden Habibie yang mengecam tindakan tersebut sebagai kejahatan yang biadab.

Setelah TGPF memberikan laporan, Ibu Prof Saparinah Sadli yang juga anggota tim itu, didatangi oleh kelompok perempuan dari berbagai profesi—psikolog, tokoh agama, pendamping korban, dan lainnya.

Jumlah mereka 350 orang. Mereka lalu menghadap Presiden lagi, dan dari sanalah kemudian terbentuk Komnas Perempuan. Jadi kalau sekarang dikatakan ini tidak pernah terjadi, itu sangat mengingkari sejarah yang sudah terdokumentasi dan diakui negara.

Apakah menurut Anda pernyataan Fadli Zon juga secara tidak langsung membantah pengakuan Presiden BJ Habibie?

Tentu saja. Ia bukan hanya membantah TGPF, tapi juga membantah Presiden Habibie yang sudah mengakui peristiwa itu di hadapan publik.

Siapa Fadli Zon? Dia bukan Menteri Hak Asasi Manusia, bukan Jaksa Agung. Dia Menteri Kebudayaan. Tapi justru lewat jabatan itulah ia ingin menulis ulang sejarah.

Apakah Anda melihat ini sebagai upaya menghapus jejak pihak-pihak yang diduga terlibat dalam peristiwa Mei 1998?

Ya, banyak yang melihat seperti itu. Bukan hanya saya. Motif dan arahnya sangat jelas—penggiringan opini untuk mengaburkan pelaku dan korban.
TGPF disebut menemukan adanya pemerkosaan massal. Bagaimana kesimpulan itu bisa dibuktikan secara sistematis?

Sebagian besar kasus yang ditemukan adalah gang rape, yakni perkosaan yang dilakukan oleh sejumlah orang terhadap satu korban secara bersamaan. Itu terjadi di rumah, di jalan, bahkan di depan tempat usaha.
TGPF menemukan kasus-kasus ini tidak hanya pada 12–15 Mei, tapi juga sebelum dan sesudahnya.

Di Medan, misalnya, pada 4–8 Mei 1998, ratusan pelecehan seksual dilaporkan. Ada lima korban yang melapor. Setelah kerusuhan, dua kasus terjadi di Jakarta (2 dan 8 Juli), dan dua lainnya di Solo.

Mayoritas terjadi di rumah korban, tapi banyak juga dilakukan di depan umum. TGPF menyebutnya sebagai gang rape. Kalau itu tidak dianggap sebagai pemerkosaan massal, lalu apa?

Fadli Zon menyatakan, ‘Coba bayangkan bangsa kita dicap sebagai negara pemerkosa massal.’ Menurut Anda, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap peristiwa kelam ini?

Pernyataan itu justru menyesatkan. Seolah-olah kita ingin melupakan fakta karena takut 'aib'. Tapi coba lihat bangsa lain. Saya pernah ke Museum Holocaust di Washington, Amerika Serikat. Di sana, penggambaran kekejaman Nazi terhadap Yahudi begitu mengerikan—secara visual dan naratif. Tapi mereka tidak menyembunyikannya.

Di Berlin, Jerman, lebih luar biasa. Mereka mengakui bahwa bangsa mereka pernah melakukan kedurjanaan massal, bukan hanya terhadap bangsanya sendiri, tapi juga terhadap bangsa lain. Itu mereka akui secara rendah hati.

Museum-museum dibuat di bawah tanah, dalam suasana hening dan kontemplatif. Semua itu agar bangsa mereka sadar, agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi.

Mengapa penting untuk tetap mencatat peristiwa ini dalam sejarah bangsa?

Karena gugatan para korban bukan untuk membalas. Mereka tidak ingin para pelaku dihukum hanya demi pembalasan. Mereka ingin agar kejadian semacam ini tidak menimpa generasi berikutnya. Mesin kekerasan politik harus dihentikan.

Reformasi sistem, pembaruan hukum, serta perubahan etika publik dan institusi harus dilakukan.

Kalau kekuasaan hanya dijalankan oleh segelintir elite bisnis, militer, dan birokrasi negara tanpa pengawasan publik, maka kekuasaan itu menjadi brutal. Dan bahasa seperti yang disampaikan Fadli Zon mencerminkan feodalisme yang tak punya sensitivitas terhadap hak asasi dan gender.

Apakah peristiwa kelam seperti ini bisa dihapus dari ingatan sejarah bangsa?

Tidak akan pernah bisa. Itu akan terus hidup dalam sanubari masyarakat. Kita manusia, bukan mesin. Meskipun luka dan penderitaan berat, tetap ada kehendak bebas dalam diri manusia—untuk melawan, untuk berpikir, dan untuk bersuara.

Dan itulah yang Fadli Zon lupakan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI