"Pun, sudah begitu, tetap kita kasih kok kuota raw sugar, hanya saja kan kita sesuaikan dengan perkembangan kebun tebunya dia (KTM). Dia dapat kok 80.000 ton, tapi masih teriak-teriak aja," jelas Supriyadi.
Alokasi raw sugar diberikan kepada PT KTM agar pabrik gula tersebut memperoleh lebih banyak penghematan anggaran belanja bahan baku. Itu diberikan sebagi insentif investasi dari pemerintah.
Harapannya, PT KTM bisa menggunakan uang hasil penghematan tadi untuk memperluas area tanam kebun tebu miliknya.
Namun, hingga kini luas tanam area tebu yang dimilik PT KTM belum memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah. Dari hasil investigasi Kemenperin, uang penghematan yang diperoleh PT KTM malah digunakan untuk membeli tebu dari petani yang sudah menjalin kontrak dengan pabrik gula lainnya.
Kondisi ini malah berbahaya bagi industri gula tebu di Jawa Timur. Ia khawatir, perilaku PT KTM bisa memicu persaingan tidak sehat pada industri gula berbasis tebu di Jawa Timur.
"Kan di sana ada pabrik gula tebu lain. Ada PG BUMN dan lain-lain. Dengan dia (PT KTM) membeli tebu seperti itu, dia merusak harga pasar di sana (Jawa Timur). Industri yang lain. Justru persaingannya, jadi persaingan tidak sehat," tutur dia.
"Dia (KTM) kan bisa membeli tebu lebih mahal karena dia menerima insentif kuota raw sugar tadi. Jadi dia ada kelebihan (penghematan). Harusnya, kelebihan itu dia pakai untuk memperluas lahan perkebunan tebu. Kan memang maksud pabrik baru diberi insentif investasi biar dia bisa membangun perkebunan tebu sendiri," pungkas Supriyadi.