Menurut Darto, fakta ini menunjukkan bahwa pengaruh oligarki dan orang kuat dalam Komite Pengarah BPDPKS turut mengontrol penggunaan dana sawit yang lebih besar untuk subsidi biodiesel.
Darto juga menyebut, fakta lain menunjukkan, fasilitasi negara dalam hal ini pemerintah mengambil kebijakan pungutan dana dari ekspor sawit yang pada akhirnya sebagian besar untuk subsidi biodiesel menunjukkan pengaruh dari oligarki. Padahal kebijakan pungutan yang berubah ubah dan terus meningkat mengakibatkan kerugian pada harga sawit di tingkat petani.
Selain itu kata Darto, pengaruh oligarki dan orang kuat dalam pengambilan kebijakan negara juga turut menghambat inklusifitas petani dalam pengembangan biodiesel dan terutama rantai pasok biodiesel. Hal ini juga terjadi pada struktur BDPKS yang minim keterwakilan petani.
"Kami menghitung dampak dari penggunaan biodiesel bagi penghematan APBN itu sama sekali tidak terbukti. Kebijakan subsidi biodiesel ini mengulang kebijakan subsidi untuk solar dulu, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi. Artinya, kebijakan subsidi ini hanya berpindah dari yang dulunya subsidi solar untuk produsen minyak luar negeri ke subsidi biodiesel untuk pengusaha biodiesel dalam negeri," kata Faisal Basri, Ekonom Senior Indonesia, dalam acara launching dan Bedah Buku Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis Biodiesel di Kekini Workspace.
Tujuan penggunaan biodiesel untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangannya membaik, menurut Faisal, kebijakan ini salah, karena pengurangan impor solar dengan digantikan dengan biodiesel maka ekspor CPO juga turun. Seharusnya dampaknya ini perlu dihitung,
Faisal juga mempersoalkan klaim pengusaha yang menilai dana yang dikelola BPDPKS merupakan dana dari pengusaha sawit lewat potongan ekspor dan harus dikelola pengusaha. Menurut Faisal, klaim ini sesuatu yang sangat keblinger, seolah-olah ada negara di dalam negara.
Menurut Faisal, sebanyak 40 persen dari dana sawit itu justru dari sawit rakyat, oleh karena itu harus ada ketidakterwakilan petani secara resmi dalam struktur BPDPKS, untuk mengarahkan kepada program peremajaan sawit dan program lainnya.
Lebih lanjut kata Faisal, Pemerintah belum peka terhadap keberpihakannya pada sector sawit yang terdapat jutaan rakyat di dalamnya, dimana setiap ekspor sawit terdapat kebijakan pungutan ekspor dan juga pajak ekspor dalam UU Bea Cukai, dimana kebijakan pajak ekspor ini merugikan petani karena pengekspor tidak mau labanya turun, semakin tinggi pajak ekspor semakin turun harga sawit di tingkat petani karena struktur pasarnya oligopoly. Jadi petani kena pajak ekspor dan pungutan ekspor.
Faisal juga mengatakan bahwa pengusaha bisnis biodiesel dijamin tidak pernah rugi. Karena ketika harga sawit naik, maka komponen dari biofuelnya juga naik dikaitkan dengan internasional, maka akan mendapatkan dari dana sawit supaya tidak rugi. Bahkan sebelum covid, pengusaha biodiesel juga mendapatkan subsidi dalam program PEN, dari APBN sebesar 2,67 triliun.
Baca Juga: Kebijakan DMO dan DPO Bikin Resah Petani Kelapa Sawit, Begini Klarifikasi mendag
Benny Kabur Harman, Anggota DPRRI, mengatakan bahwa dari sudut pandang politik, gagasan tentang pengembangan biodiesel sudah disampaikan oleh Presiden sejak kampanye pemilu dan pidato kenegaraan di MPR dan DPR, yang semata-mata hanya untuk menyenangkan para oligarki atau orang-orang kuat yang berkepentingan di dalamnya.