Awal bulan ini, warga China dikejutkan dengan kecelakaan sebuah bus yang membawa 47 orang yang tinggal di Guizhou, "kawasan berisiko tinggi COVID" dalam perjalanannya ke hotel karantina, menyebabkan 27 orang tewas dan 20 lainnya luka-luka.
"Siapa bilang kita tidak berada di dalam bus malam itu, kita jelas semua ada di sana," komentar seorang pengguna di media sosial.
Dua minggu sebelumnya, warga yang mengalami 'lockdown' di provinsi Sichuan dilaporkan terperangkap di rumah mereka saat gempa berkekuatan 6,8 SR terjadi.
Kekurangan makanan dan tidak bisanya mendapatkan obat-obatan dan perawatan medis lainnya juga dilaporkan terjadi berulang kali saat 'lockdown' diberlakukan di Shanghai, Sichuan, Xinjiang dan tempat lainnya.
'Para ahli harus berbicara'
Komentator China terkemuka, Hu Xijin, mengatakan ketika China mempertimbangkan kebijakan COVID-19-nya, para epidemiolog harus berbicara dan China harus melakukan penelitian komprehensif dan membuat studi yang transparan untuk warganya.
"Rakyat harus mempercayai negara, tetapi negara juga harus mempercayai pemahaman rakyat," kata Hu.
Unggahan Hu di jejaring sosial yang meminta adanya keterbukaan dan transparansi mendapat 34.000 'like' di Weibo, serta komentar netizen di internet yang biasanya disensor jika dianggap berisiko bagi stabilitas sosial.
Bulan Mei lalu, para pejabat China memperingatkan bahwa mereka akan melawan komentar atau tindakan apa pun yang menganggu, meragukan, atau menolak kebijakan COVID di China.
"Soal masa depan, China membutuhkan penelitian dan perhitungan yang sangat rasional," kata Hu, mantan pemimpin redaksi Global Times milik Pemerintah China.
Baca Juga: Mikrofon Apple Watch Ultra dan Series 8 Bermasalah
Kapan kebijakan nol kasus berakhir?
Profesor Yang mengatakan kebijakan nol kasus COVID-19 di China adalah masalah utama bagi para pemimpin China.