Melihat kondisi saat ini, Fendy pesimistis emiten yang berbisnis panas bumi tersebut dapat mendapatkan kupon obligasi lebih rendah dari bunga pinjaman sebelumnya. Dia mengacu pada kondisi ekonomi global, di mana suku bunga Bank Sentral AS alias the Fed telah naik secara agresif beberapa tahun terakhir.
"Belum kalau investornya men-consider kenaikan suku bunga lagi, jadi kupon obligasinya mungkin bisa lebih tinggi," kata dia.
Fendy menyebut tak banyak opsi bagi PGEO untuk menyelesaikan permasalahan ini karena jatuh tempo pinjaman yang kian dekat, yaitu Juni 2023. Sehingga perseroan mau tidak mau harus melakukan sebuah aksi korporasi untuk menutupi utangnya.
"Potensi calls refinancing mesti dilakukan sekalipun jadi sentimen buruk bagi pelaku pasar. Dari sisi likuiditas, kebijakan ini harus diambil. Tapi dari sisi performance, perbandingan kupon obligasi dengan bunga pinjaman yang lama pasti akan memburuk, karena biayanya lebih tinggi, interest expand-nya lebih besar," jelas dia.
Diberitakan sebelumnya, PGEO berencana menerbitkan surat utang berwawasan hijau alias green bonds di luar wilayah Indonesia sebesar USD 400 juta atau sekitar Rp 6 triliun dengan kupon 5,15% per tahun yang jatuh tempo pada tahun 2028.
Anak usaha Pertamina ini akan menggunakan dana hasil emisi obligasi untuk melunasi seluruh sisa utang sebanyak USD400 juta dengan bunga di bawah 5% yang diraih pada Juni 2021 melalui sebuah sindikasi. Fasilitas pinjaman tersebut akan jatuh tempo pada 23 Juni tahun ini.