SK DATIN KLHK Disebut Berpotensi Intimidasi Pemilik Kebun Sawit

Iwan Supriyatna Suara.Com
Senin, 16 Oktober 2023 | 16:02 WIB
SK DATIN KLHK Disebut Berpotensi Intimidasi Pemilik Kebun Sawit
Ilustrasi panen buah sawit. [Antara/Iggoy el Fitra]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers).

Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.

“Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan,” kata Sadino mengingatkan.

Menurut dia, seharusnya skema penyelesaian kebun sawit mengikuti pola self-reporting dan jika diperlukan pendalaman bisa dilakukan seperti peradilan semu yang membuka ruang untuk saling ber-argumen, klarifikasi dan verifikasi terkait SK DATIN dengan data pelaku usaha, sehingga dapat saling menjelaskan. Tidak seperti sekarang ini semuanya diserahkan ke Timdu (Tim Terpadu) dan subyek hukum tidak dilibatkan dalam Timdu.

“Timdu dasar kerjanya SK KLHK tidak bersifat obyektif dalam melihat hukum yang berlaku di luar hukum-hukum kehutanan. Hukum kehutanan sendiri tidak dipahami apalagi hukum di luar bidang kehutanan pasti akan diabaikan dan hasilnya potensi tidak diterima oleh pelaku perkebunan,” paparnya.

Sadino menegaskan, KLHK wajib menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/2011 yang telah mengubah norma Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Hak atas tanah (HAT) menurut ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai. Dalam penyelesaian kebun sawit dikembalikan kepada Pasal 110A yang mensyaratkan izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dan tentunya tidak termasuk yang sudah mempunyai hak atas tanah karena HAT tunduk pada UUPA dan bukan ranah KLHK.

“Jika SATLAKWALDA-UUCK dalam penerapannya menyimpang dari Pasal 110A dan lebih mengutamakan ke Skema PP 24/2021 maka hasilnya akan tidak optimal dan malah menimbulkan banyak sengketa hukum. Dan kemungkinan akan dilakukan uji subtansi Pasal 110A di MK sangat terbuka untuk dikabulkan. Begitu juga Uji Materi PP 24/2021 ke MA karena PP 24/2021 dan Permen LHK 7/2021, dan produk SATLAKWALDA-UUCK dapat menjadi obyek sengketa TUN dan sengketa keperdataan,” tegas Sadino.

Sejatinya, lanjut Sadino, putusan hukum terkait hak atas tanah (HGU) dengan klaim Kawasan hutan sudah ada, diantaranya:

Baca Juga: Bursa CPO Resmi Diluncurkan, RI Miliki Acuan Harga Minyak Sawit

  1. Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011, Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”
  2. Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 yang telah meminta pengujian terkait Hak Atas Tanah (HGU) asas pacta sunt servanda yang berlaku universal. Prinsip ini bahkan tetap berlaku dan dihormati meskipun terjadi “perubahan keadaan yang mendasar” (rebus sic stantibus atau fundamental change of circumtances)
  3. Uji Materi HGU bukan kawasan hutan Putusan MA Nomor 03/HUM/2013 (30 Juli 2013) menyatakan HGU bukan Kawasan Hutan.
  4. PUTUSAN Nomor 32/Pdt.G/2022/PN.Stb. dinyatakan : bahwa HGU Bukan Kawasan Hutan.
  5. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 62/Pid.Sus-TPK/2022/PN.JKT.Pst tanggal 23 Februari 2023:

- PT. Kencana Amal Tani dan PT Banyu Bening Utama yang keduanya telah memiliki HGU yang seharusnya tidak menjadi obyek Pemeriksaan
- PT. KAT yang telah mendapatkan Hak yang Resmi dari Negara berupa HGU, sehingga hasil usahanya adalah legal sepanjang HGU tersebut tidak pernah dicabut oleh lembaga yang berwenang;
- Majelis menilai bahwa selama HGU belum dicabut oleh lembaga/Instansi yang berwenang Majelis menilai HGU tersebut sah adanya dan Pemegang Hak mempunyai hak untuk berusaha diatas tanah tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI