Suara.com - Commerzbank AG, bank asal Jerman, dalam studinya menyebutkan bahwa lonjakan pertumbuhan penjualan ritel di Tiongkok baru-baru ini hanyalah efek sementara dari program stimulus pemerintah. Dampak kebijakan ini dinilai tidak akan bertahan lama.
Ekonom senior Commerzbank AG, Tommy Wu mengatakan, peningkatan jumlah perusahaan yang merugi menunjukkan adanya gambaran suram terhadap kepercayaan bisnis dan kondisi lapangan kerja. Hal ini pada akhirnya akan berdampak negatif pada kepercayaan konsumen.
“Oleh karena itu, Beijing masih punya banyak pekerjaan rumah jika ingin menjadikan peningkatan konsumsi sebagai salah satu tujuan kebijakan utama,” ungkap Wu dalam laporannya, yang dikutip dari Kalkin.
Laporan tersebut mencatat bahwa meskipun kinerja produksi industri dan penjualan ritel di kuartal kedua 2025 lebih kuat dari perkiraan—dengan pertumbuhan sekitar 6% secara tahunan pada periode April-Mei—efeknya tidak akan bertahan lama. Angka ini bahkan membuat PDB di kuartal kedua diperkirakan bisa melampaui 5% setelah tumbuh 5,4% di kuartal pertama. Namun, program stimulus konsumsi pemerintah dianggap tidak memiliki efek jangka panjang.
Program Subsidi Trade-in Kehabisan Dana
Salah satu pendorong utama penjualan ritel adalah program subsidi trade-in yang memberikan insentif untuk pembelian barang-barang besar seperti peralatan rumah tangga, mobil, dan elektronik. Sayangnya, program ini menghadapi tantangan besar.
Pada awal Juni, lebih dari setengah dari dana senilai CNY300 miliar yang dialokasikan Beijing untuk program ini sudah didistribusikan. Tingginya partisipasi konsumen membuat pemerintah daerah kehabisan dana subsidi dengan cepat. Meskipun pemerintah pusat kemungkinan akan mengucurkan sisa dana, Wu meragukan dampak jangka panjangnya.
“Menurut pandangan kami, tidak jelas apakah kepercayaan konsumen benar-benar membaik, mengingat prospek pekerjaan dan pendapatan masih tidak menentu,” jelas Wu.
Deflasi yang terus-menerus juga menjadi masalah. Meskipun inflasi IHK (Consumer Price Index) berada di sekitar nol, hal itu gagal membalikkan lemahnya permintaan. Kondisi ini diperparah dengan deflasi IHP (Producer Price Index) yang memburuk hingga mencapai minus 3,3% pada Mei. Ini mengindikasikan bahwa siklus deflasi yang sudah berlangsung sejak 2023 akan sulit diatasi. Akibatnya, banyak perusahaan terpaksa memangkas harga untuk bertahan, seperti yang terlihat pada perang harga di pasar mobil listrik Tiongkok.
Baca Juga: Awan Gelap Selimuti Ekonomi RI, Prabowo Bisa Apa?
Deflasi telah menekan profitabilitas perusahaan. Proporsi perusahaan yang merugi meningkat dari kurang dari 10% pada 2011 menjadi 23% pada 2024, dan kenaikan ini didominasi oleh sektor swasta.
“Karena masalah kelebihan kapasitas dan lapangan kerja bersifat struktural, Beijing perlu mengizinkan dan memulai reformasi serta konsolidasi yang berarti di berbagai industri untuk mengatasi masalah ini,” kata Wu.
Kelemahan di sektor swasta dan kurangnya profitabilitas membuat perusahaan enggan merekrut tenaga kerja baru.
Keterbatasan Fiskal Pemerintah
Laporan Commerzbank juga menyoroti keterbatasan fiskal pemerintah. Meskipun utang pemerintah pusat masih rendah dibandingkan standar internasional (diperkirakan di bawah 30% dari PDB pada 2025), utang pemerintah daerah diproyeksikan melebihi 100% dari PDB.
Wu menambahkan, meskipun pemerintah pusat bisa mengambil alih sebagian beban utang pemerintah daerah, ada batasnya. Keterbatasan fiskal ini pada akhirnya akan menghambat stimulus kebijakan.