Belum lagi jika nantinya bahan baku LNG harus impor penuh. Dalam situasi ini, kata Komaidi, terdapat potensi bahwa pasokan gas ke industri tidak selalu bisa terealisasi. ”Ini yang jauh lebih mengkhawatirkan. Nah karena itu perlu diinformasikan kebijakan yang lebih pas. Kalau hanya kasih HGBT dalam satu sampai dua tahun ke depan, tahun ketiga dan seterusnya menjadi bencana, saya kira ini pilihan kebijakan yang perlu dikaji ulang,” sarannya.
Maka Komaidi berharap seluruh pemangku kepentingan terutama pemerintah menjelaskan situasi sebenarnya. ”Sebetulnya perlu jujur sih problemnya apa, kita cari titik optimalnya ada di mana. Saya kira pengguna gas juga tidak akan menolak ketika harga rasionalnya harus USD7 (per MMBTU) misalnya mereka pasti akan sanggup membayar USD7,” ungkapnya.
Sebab yang lebih dibutuhkan industri adalah kepastian. ”Sebagai ilustrasi misalnya ketika pabrik hari ini katakan lah dapat pasokan gas bumi 1000, itu kan kapasitas pabriknya sudah disetting 1000. Jika nanti turun menjadi 500 otomatis harus turun settingnya. Tapi untuk mengubah lagi settingan itu kan tidak sederhana,” Komaidi menggambarkan.
Pemerintah sebagai fasilitator diyakini bisa berlaku adil untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Kuncinya adalah keadilan untuk seluruh pemangku kepentingan. Bukan hanya industri konsumen gas bumi saja tetapi juga industri hulu, midstream, dan downstream migas.
”Problemnya itu ada di mana kita selesaikan. Kalau misalkan dari hulu sampai hilir ada untungnya USD4 yang untung itu juga didistribusikan; hulu dapat berapa, tengah dapat berapa, industri pengguna dapat pasokannya dan marginnya dapat berapa. Nah pemerintah sebagai fasilitator atau sebagai wasit, harus adil ke semua pemain,” Komaidi mengusulkan.