Proyek Infrastruktur Gas Raksasa RI Bisa Jadi 'Senjata Makan Tuan'

Rabu, 30 April 2025 | 16:06 WIB
Proyek Infrastruktur Gas Raksasa RI Bisa Jadi 'Senjata Makan Tuan'
Ilustrasi. Rencana ambisius Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur gas senilai USD 32,4 miliar atau setara Rp 500 triliun lebih menuai sorotan tajam. ANTARA/HO-BP Tangguh
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rencana ambisius Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur gas senilai USD 32,4 miliar atau setara Rp 500 triliun lebih menuai sorotan tajam. Bisa jadi rencana ini justru menjadi 'senjata makan tuan' bagi Indonesia.

Laporan dari lembaga pengawas utang debtWATCH dan organisasi lingkungan Trend Asia memperingatkan bahwa langkah ini berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam serangkaian konsekuensi serius, mulai dari memperparah krisis iklim, memicu korupsi, hingga melilit utang yang membahayakan kedaulatan energi dan ekonomi nasional.

Temuan laporan yang berjudul "Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim" ini mengungkap bahwa alih-alih menjadi solusi transisi energi, proyek-proyek gas justru menghambat komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris akibat emisi gas rumah kaca yang tinggi.

Ironisnya, pengembangan infrastruktur ini justru menerima kucuran dana, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk utang, dari berbagai institusi keuangan global seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group.

Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia dengan tegas menyatakan, “Proyek-proyek gas, seperti infrastruktur Liquified Natural Gas (LNG), justru menjerumuskan Indonesia ke dalam ketergantungan pada skema pembiayaan global yang merugikan. Kami melihat bahwa pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia.” katanya dalam laporan itu yang dikutip Suara.com, Rabu (30/4/2025).

Laporan tersebut mengidentifikasi 18 proyek gas, baik LNG maupun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), dengan berbagai tahapan operasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu contohnya adalah proyek Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang menerima dukungan dana signifikan dari ADB, JBIC, dan IFC dengan estimasi mencapai USD 8 miliar. Fakta ini menyoroti ambiguitas komitmen iklim dari bank-bank pembangunan multilateral yang sebelumnya telah menerbitkan kebijakan untuk menghentikan pendanaan proyek berbahan bakar fosil.

Lebih lanjut, laporan ini menyoroti bahwa upaya transisi energi bersih di Indonesia terancam gagal karena gas masih dipromosikan secara masif sebagai bagian dari "energi transisi" yang didukung oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Bahkan, pemanfaatan gas dalam bauran energi primer diproyeksikan terus meningkat hingga tahun 2060.

Langkah ini semakin diperkuat dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pendanaan proyek migas dalam gelombang pertama BPI Danantara sebagai langkah mempercepat pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Baca Juga: Terjebak Pinjol? Ini Tips Restrukturisasi Tagihan dan Terhindar dari Galbay

Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia, mengungkapkan keprihatinannya, “Di saat urgensi dunia untuk mencapai Perjanjian Paris dengan bertransisi ke energi terbarukan yang berkeadilan pemerintah malah melakukan sebaliknya, mendorong penggunaan gas hingga berdekade ke depan. Upaya kita mencapai tujuan tersebut terancam gagal.”

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI