Suara.com - Rencana ambisius Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur gas senilai USD 32,4 miliar atau setara Rp 500 triliun lebih menuai sorotan tajam. Bisa jadi rencana ini justru menjadi 'senjata makan tuan' bagi Indonesia.
Laporan dari lembaga pengawas utang debtWATCH dan organisasi lingkungan Trend Asia memperingatkan bahwa langkah ini berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam serangkaian konsekuensi serius, mulai dari memperparah krisis iklim, memicu korupsi, hingga melilit utang yang membahayakan kedaulatan energi dan ekonomi nasional.
Temuan laporan yang berjudul "Investasi LNG Indonesia, Jalan Mundur Komitmen Iklim" ini mengungkap bahwa alih-alih menjadi solusi transisi energi, proyek-proyek gas justru menghambat komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris akibat emisi gas rumah kaca yang tinggi.
Ironisnya, pengembangan infrastruktur ini justru menerima kucuran dana, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk utang, dari berbagai institusi keuangan global seperti Asian Development Bank (ADB), Asia Infrastructure International Bank (AIIB), dan World Bank Group.
Diana Gultom dari debtWATCH Indonesia dengan tegas menyatakan, “Proyek-proyek gas, seperti infrastruktur Liquified Natural Gas (LNG), justru menjerumuskan Indonesia ke dalam ketergantungan pada skema pembiayaan global yang merugikan. Kami melihat bahwa pendanaan LNG adalah bagian dari strategi global yang menunda transisi energi sejati dan mempertahankan kontrol korporasi terhadap sumber daya alam Indonesia.” katanya dalam laporan itu yang dikutip Suara.com, Rabu (30/4/2025).
Laporan tersebut mengidentifikasi 18 proyek gas, baik LNG maupun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), dengan berbagai tahapan operasional yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu contohnya adalah proyek Tangguh LNG di Teluk Bintuni, Papua Barat, yang menerima dukungan dana signifikan dari ADB, JBIC, dan IFC dengan estimasi mencapai USD 8 miliar. Fakta ini menyoroti ambiguitas komitmen iklim dari bank-bank pembangunan multilateral yang sebelumnya telah menerbitkan kebijakan untuk menghentikan pendanaan proyek berbahan bakar fosil.
Lebih lanjut, laporan ini menyoroti bahwa upaya transisi energi bersih di Indonesia terancam gagal karena gas masih dipromosikan secara masif sebagai bagian dari "energi transisi" yang didukung oleh Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Bahkan, pemanfaatan gas dalam bauran energi primer diproyeksikan terus meningkat hingga tahun 2060.
Langkah ini semakin diperkuat dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pendanaan proyek migas dalam gelombang pertama BPI Danantara sebagai langkah mempercepat pelaksanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Baca Juga: Terjebak Pinjol? Ini Tips Restrukturisasi Tagihan dan Terhindar dari Galbay
Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia, mengungkapkan keprihatinannya, “Di saat urgensi dunia untuk mencapai Perjanjian Paris dengan bertransisi ke energi terbarukan yang berkeadilan pemerintah malah melakukan sebaliknya, mendorong penggunaan gas hingga berdekade ke depan. Upaya kita mencapai tujuan tersebut terancam gagal.”
Selain risiko iklim dan utang, kebutuhan biaya yang sangat besar untuk pengembangan infrastruktur gas juga membuka celah korupsi yang signifikan. debtWATCH dan Trend Asia mengingatkan pada kasus korupsi pengadaan LNG di PT Pertamina pada periode 2011-2021 yang menyeret mantan Direktur Utama perusahaan tersebut sebagai tersangka.
"Dana miliaran dolar yang terus mengalir untuk proyek LNG lebih banyak menciptakan risiko utang, korupsi, dan pencemaran lingkungan dibanding memberikan manfaat bagi rakyat. Kasus korupsi pengadaan LNG menunjukkan investasi LNG adalah area yang rawan penyelewengan dana dan tidak memberikan manfaat nyata bagi ketahanan energi Indonesia,” tegas Diana Gultom.
Laporan ini juga menyoroti kerentanan proyek gas terhadap sengketa geopolitik. Proyek LNG Blok Tuna di Laut Natuna Utara, yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan yang menjadi area sengketa, menjadi contoh nyata risiko ini. Insiden kapal penjaga pantai Tiongkok yang mendekati lokasi pengeboran pada tahun 2021 dan respons Indonesia dengan mengerahkan kapal perang menunjukkan potensi konflik yang dapat mengganggu operasional proyek dan stabilitas kawasan.
Dampak negatif pengembangan infrastruktur gas juga dirasakan langsung oleh masyarakat di tingkat lokal. Di Desa Cilamaya, Karawang, puluhan petani kehilangan mata pencaharian akibat alih fungsi lahan sawah menjadi proyek PLTG Jawa 1 yang menggunakan LNG. Selain itu, area tangkap dan penghasilan nelayan menurun drastis akibat kerusakan ekosistem laut di wilayah eksplorasi proyek.
Menutup laporan tersebut, Novita Indri kembali menekankan urgensi untuk beralih dari ketergantungan pada bahan bakar fosil. “Dampak krisis iklim sudah terjadi dan ekspansi penggunaan gas hanya akan membawa kita pada bencana iklim yang tak berkesudahan dan multidimensi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil ini harus segera disudahi dan bertransisi ke energi terbarukan adalah solusinya,” katanya.