Menurutnya, PP nomor 28 tahun 2024 ini sebagai bentuk pembangkangan konstitusi (constitutional disobidient), sebab bertentangan dengan putusan-putusan MK terkait.
“Dalam putusan MK, produk tembakau tegas disebut sebagai produk legal yang tidak dilarang untuk diproduksi, diperjualbelikan, termasuk dipromosikan dan diiklankan. Produk tembakau meskipun mengandung zat adiktif lainnya seperti morfin, opium, ganja yang penggunaannya dilarang selain untuk kepentingan kesehatan dan tujuan ilmu pengetahuan,” tegas Ali Ridho.
Dirinya juga menyoroti ada sebelas pasal yang sangat mengkhawatirkan, antara lain: pasal tentang batas maksimal nikotin dan TAR; pasal terkait larangan penjualan; kawasan tanpa rokok; larangan iklan di media sosial dan pengendalian iklan di situs web dan e-commerce; pembatasan iklan luar ruang; larangan memberikan anjuran mengonsumsi tembakau, dan beberapa pasal karet yang bersifat multi-tafsir dan bisa memicu ketegangan dan konflik horisontal antar aparat pemerintah dengan warga masyarakat (ma’alatul af‘al).
Dalam implementasi dan pengawasannya, PP Nomor 28 tahun 2024 ini sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial horisontal antar aparat pemerintah dengan warga negara. Beberapa pasal yang membingungkan seperti adanya larangan menjual rokok 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, larangan rokok untuk dipajang di tempat orang lalu-lalang sulit untuk diimplementasikan dan akan membuat banyak pihak bingung saat harus diterapkan.
Penerapan pasal-pasal ini akan menimbulkan multi-tafsir, rawan praktik pungli sehingga memberikan tekanan kepada rakyat, utamanya pedagang kecil yang mendapatkan pemasukan cukup signifikan dari berjualan rokok.