Ia menambahkan bahwa pasir timah dengan kadar rendah tersebut memerlukan proses tambahan untuk meningkatkan kadarnya, yang dikenal dengan istilah washing.
"Proses washing untuk meningkatkan kadar timah dalam pasir memerlukan biaya sekitar 100-200 US$ per ton," kata Ichwan.
Biaya ini mencerminkan tantangan dalam mengolah pasir timah yang dihasilkan dari Program SHP sebelum dapat digunakan dalam produksi logam timah.
Ketika ditanya tentang rencana reklamasi area bekas tambang, Ichwan menyebutkan, reklamasi tidak bisa serta merta langsung dilakukan. Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan reklamasi area bekas tambang rakyat.
"Saya tidak dapat memastikan apakah seluruh area reklamasi seluas 400 hektar merupakan area yang ditambang oleh mitra penambangan PT Timah atau area SHP." katanya.
Ia menjelaskan bahwa alasan area SHP belum diprioritaskan untuk reklamasi adalah karena masih terdapat nilai keekonomian dari pasir timah yang dihasilkan.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa jika area SHP direklamasi terlalu cepat, masyarakat mungkin akan membuka kembali area tersebut untuk mendapatkan sisa timah yang belum diolah.
Dengan fakta tersebut, tak heran banyak yang meragukan kebernaran soal perhitungan kerugian negara yang bernilai fantastis mencapai Rp 300 triliun itu.
Ketua Persatuan Civitas Akademika Lintas Perguruan Tinggi Indonesia, Marshal Imar Pratama SE MM menyatakan, inti persoalan dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk 2015-2022 itu adalah di tata Kelola pertimahan.
Baca Juga: Babak Baru Kasus Harvey Moeis, Kinerja PT Timah Terdongkrak Karena Tambang Rakyat?
"Kasus itu muncul karena adanya penambangan oleh rakyat di IUP PT Timah yang biji timahnya dijual ke luar atau ke pihak swasta," ujar pria yang juga menjabat sebagai Staf Pengajar dan Lektor di Universitas Sumatera Barat itu lagi.