Sukmayanti juga menambahkan bahwa kebiasaan berisiko ini diusahakan untuk dikurangi terlebih dahulu daripada dihentikan langsung secara tiba-tiba (cold turkey). Melakukan pengurangan secara bertahap dari kebiasaan-kebiasan berisiko yang timbul akibat tekanan pekerjaan dapat dijadikan sebagai solusi. “Jika bisa dihentikan langsung, tentu akan lebih baik. Namun, jika pendekatan seperti itu tidak berhasil dilakukan maka konsep pengurangan risiko menjadi sangat penting,” ujarnya.
Sebagai contoh, kebiasaan merokok sangat sulit untuk dihentikan secara langsung, bahkan ketika berada di tempat kerja. Oleh sebab itu, perokok dapat beralih ke produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin, yang menerapkan konsep pengurangan risiko kesehatan.
“Merokok tidak bisa berhenti 100 persen dan itu memang sulit dilakukan, jika dipaksakan bisa menimbulkan gejala yang lebih buruk. Jadi kita alihkan ke produk yang secara ilmiah lebih menurunkan risikonya. Seperti produk tembakau alternatif. Kalau tiba-tiba diberhentikan secara langsung, orang yang dipaksa meninggalkan rokok akan merasa cemas, tidak nyaman. Sehingga pendekatan pengurangan risiko bisa menjadi alternatif,” kata Sukmayanti.
Dari sisi Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr. Andri Kelvianto, M. Gizi, Sp. GK, AIFO-K, meminta pemerintah untuk menyediakan kerangka regulasi yang mendukung program-program edukasi gizi, termasuk pengembangan kampanye publik yang fokus pada pentingnya pola makan seimbang, pengurangan kebiasaan buruk, dan mengarahkan ke penggunaan alternatif yang lebih rendah risiko. Sementara itu, sektor swasta, dapat didorong untuk memproduksi alternatif produk yang lebih rendah risiko bagi masyarakat luas.
“Di Amerika ada food and mood project. Pemerintah menyediakan makanan yang bergizi seimbang di sekolah. Bukan hanya diberikan makan, tapi betul-betul variasi gizinya diperhatikan untuk mencukupi food security. Hasilnya mood menjadi lebih bagus, sehingga menjadikan mereka lebih produktif. Ini akan mengurangi risiko orang untuk terkena gangguan kesehatan mental,” pungkasnya.