Suara.com - Nilai tukar rupiah tercatat ditutup melemah tipis pada perdagangan Kamis (24/4/2025), seiring dengan menguatnya indeks dolar Amerika Serikat (AS) dan meningkatnya tekanan eksternal yang menciptakan ketidakpastian di pasar global.
Rupiah ditutup pada level Rp16.872 per USD, hanya turun 1 poin dari posisi penutupan sebelumnya di Rp16.871. Sempat melemah hingga 20 poin di awal sesi, rupiah berhasil memangkas pelemahannya menjelang akhir perdagangan.
Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi menyatakan bahwa pelemahan tipis ini mencerminkan situasi pasar yang masih penuh kehati-hatian.
"Rupiah memang melemah sangat tipis hari ini, namun hal itu menandakan pasar masih diliputi kekhawatiran, terutama dari tekanan eksternal yang belum mereda. Isu global seperti ketegangan dagang AS-Tiongkok dan potensi konflik baru di Eropa Timur masih membayangi sentimen pelaku pasar," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (24/4/2025).
Salah satu faktor utama yang mendorong penguatan dolar AS adalah pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai kemungkinan penurunan tarif perdagangan terhadap Tiongkok.
Meskipun pernyataan itu membuka peluang meredanya tensi dagang, pasar menanggapi dengan skeptis karena belum ada kejelasan mengenai implementasinya.
![Petugas salah satu tempat penukaran mata uang asing menunjukkan uang rupiah dan dolar AS, Jakarta, Selasa (14/1/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/01/14/70255-nilai-tukar-rupiah-ilustrasi-dolar-ilustrasi-dolar-ke-rupiah-ilustrasi-rupiah.jpg)
Trump mengisyaratkan bahwa penurunan tarif sebesar 145 persen terhadap Tiongkok bisa terjadi, tetapi itu bergantung pada kesediaan Beijing untuk kembali ke meja perundingan—sebuah skenario yang belum mendapatkan sambutan positif dari pihak Tiongkok.
"Pernyataan yang ambigu dari Presiden AS dan pejabat lainnya justru menambah ketidakpastian. Investor cenderung menahan diri menunggu kepastian, dan itu turut menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah," jelas Ibrahim.
Di sisi lain, tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina juga kembali memanas. Serangan mematikan yang diluncurkan Rusia ke Kyiv menambah kecemasan pasar. Komentar dari Wakil Presiden AS JD Vance bahwa AS mungkin mundur dari negosiasi gencatan senjata turut memicu kekhawatiran baru akan potensi eskalasi konflik. Ibrahim menilai, kondisi ini menambah tekanan terhadap aset-aset berisiko seperti mata uang pasar berkembang.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Rupiah Tahan Banting
Secara internal, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) turut memengaruhi pandangan investor.