50 Persen Pendapatan Hilang, Industri Iklan Keluhkan Aturan Baru Produk Hasil Tembakau

Achmad Fauzi Suara.Com
Rabu, 30 April 2025 | 16:25 WIB
50 Persen Pendapatan Hilang, Industri Iklan Keluhkan Aturan Baru Produk Hasil Tembakau
Ilustrasi aturan larangan jual rokok eceran (Basil MK/pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polemik terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus bergulir. Regulasi ini kembali menuai kecaman, kali ini datang dari dua sektor sekaligus, periklanan luar ruang dan pedagang tradisional.

Keduanya sepakat bahwa pasal-pasal terkait produk tembakau dalam PP tersebut berdampak serius terhadap keberlangsungan usaha dan mendesak agar pasal-pasal itu segera dicabut.

PP 28/2024 yang diterbitkan sebagai aturan pelaksana dari UU Kesehatan, memperketat pembatasan iklan, promosi, dan penjualan produk hasil tembakau. Salah satu ketentuan yang paling disorot adalah larangan pemajangan dan pemasangan iklan dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Aturan ini dinilai terlalu ekstrem dan menyulitkan pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Media Luar-Griya Indonesia (AMLI), Fabianus Bernadi, mengungkapkan bahwa pembatasan tersebut telah memukul telak sektor periklanan luar ruang. Dalam Forum Diskusi Jawa Pos 2025 di Surabaya, ia menegaskan bahwa industri yang dipimpinnya kini tengah "tercekik."

"Aturan radius inilah yang bermasalah dan akan mematikan bisnis kami, sehingga kami meminta pembatalan pasal tembakau yang ada di PP 28/2024," tegas Fabianus.

Ia menyebutkan, sejak munculnya wacana Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pada akhir 2023, pendapatan iklan luar ruang anjlok hingga 50 persen. Kondisi kian memburuk setelah PP 28/2024 resmi berlaku pada September 2024.

"Sebagai petunjuk pelaksanaan dari UU Kesehatan, kami sangat terkejut ketika Rancangan PP itu berisi larangan total untuk semua iklan promosi. Kami di asosiasi periklanan dibuat syok. Lalu, kami akan beriklan apa?" imbuh Fabianus.

Kini, banyak perusahaan reklame hanya mampu mempertahankan sekitar 20 persen dari volume bisnisnya sebelum regulasi diterbitkan. Fabianus juga mengungkapkan bahwa AMLI bersama 11 asosiasi periklanan telah mengirimkan surat keberatan kepada menteri terkait hingga Presiden, namun belum membuahkan hasil konkret.

Di sisi lain, tekanan juga dirasakan oleh sektor perdagangan tradisional. Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrahman, mengatakan bahwa omzet penjualan rokok di pasar tradisional turun hingga 30 persen. Ia mengaitkan kondisi ini dengan pembatasan iklan, penurunan daya beli masyarakat, serta pergeseran perilaku belanja ke platform daring. "Penjualan rokok tidak sepenuhnya menurun, hanya berganti cara belinya menjadi lebih tertutup," ujar Mujiburrahman.

Baca Juga: Regulasi Ini Dinilai Bisa Pengaruhi Ekosistem Bisnis Industri Hasil Tembakau

Ia menambahkan bahwa aturan ini justru membuka celah bagi peredaran rokok ilegal yang lebih murah dan sulit dikendalikan. Selain itu, Mujiburrahman menekankan pentingnya mempertimbangkan nasib jutaan pekerja yang bergantung pada industri hasil tembakau (IHT). "Regulasi yang adil harus mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama lebih dari enam juta pekerja yang terlibat dalam rantai sektor IHT," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI