Suara.com - Isu sensitif mengenai pajak penghasilan Pekerja Seks Komersial (PSK) kembali mencuat di media sosial. Hal ini mencuat di tengah meningkatnya laporan aktivitas prostitusi di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Wacana lama ini kembali viral dan memicu perdebatan publik, terutama karena status pekerjaan PSK tidak diakui secara legal dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia.
Namun, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea justru memberikan pandangan hukum yang mengejutkan. Melalui akun Instagram resminya, Hotman dengan tegas menyatakan bahwa PSK kena pajak adalah hal yang sah dalam sistem hukum perpajakan Indonesia.
"Apakah dikenakan pajak untuk PSK? Jawabannya adalah yes. Menurut sistem hukum pajak di mana pun, termasuk di Indonesia, pajak dipungut dari setiap jenis income, baik halal maupun tidak halal," ujar Hotman dalam unggahan di akun @hotmanparisofficial, dikutip Jumat (8/8/2025).
Dalam pandangan hukum pajak, terdapat lima alasan kuat mengapa pekerja seks komersial tetap bisa dikenai pajak penghasilan. Pertama, jika PSK menerima pendapatan secara rutin, maka secara otomatis masuk dalam kategori objek pajak.
Kedua, hukum pajak menganut asas objektif—artinya sumber penghasilan tidak menjadi ukuran, melainkan besarnya pendapatan itu sendiri. Ketiga, selama ada subjek yang menerima (PSK) dan objek yang dikenai (uang hasil jasa), maka syarat pemungutan pajak terpenuhi.
Keempat, bila pembayaran dilakukan melalui transfer bank atau jalur keuangan resmi, maka aliran dana bisa dilacak oleh otoritas pajak.
Kelima, dasar hukum di Indonesia tidak mengecualikan penghasilan dari aktivitas ilegal, selama dapat dibuktikan sebagai penghasilan, maka bisa dikenakan pajak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perpajakan.
Hotman Paris juga mengingatkan risiko lain bagi para pelanggan PSK. Ia menyebut bahwa dalam proses pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), nama-nama pelanggan bisa saja muncul sebagai sumber penghasilan dari sang PSK. “Kalau Anda jajan ke PSK, hati-hati nama kamu masuk di SPT cewek itu,” ujarnya.
Sebenarnya, wacana ini bukan hal baru. Pada 2015 lalu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Mekar Satria Utama, sempat menyampaikan bahwa prostitusi dapat dikenai pajak selama menghasilkan penghasilan dan datanya bisa dibuktikan.
“Kalau nanti kami masuk ke rahasia perbankan, dibayar melalui transfer bank, kami tanya uang ini dari mana? Kalau itu penghasilan, maka secara teori bisa dikenakan pajak,” jelas Mekar saat itu.
Meski potensi penerimaan dari sektor ini terbuka, DJP menegaskan bahwa mereka tidak secara khusus membidik pelaku prostitusi. Fokus utama tetap pada peningkatan kepatuhan wajib pajak secara umum. Bahkan tanpa tambahan dari sektor prostitusi, kinerja penerimaan pajak nasional dalam lima tahun terakhir tetap meningkat, bahkan melampaui laju pertumbuhan ekonomi.
Sejarah Gelap Prostitusi
Prostitusi di Indonesia telah menjadi isu kompleks yang menyimpan sejarah panjang sejak era kerajaan, kolonialisme, hingga masa kini.
Meskipun secara hukum dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan, praktik ini tetap berkembang dengan berbagai bentuk dan dinamika sosial yang menyertainya.