Suara.com - Nilai tukar rupiah kembali berada di bawah tekanan, ditutup melemah pada perdagangan sore ini sebesar 17 poin ke level Rp16.455 per dolar AS, setelah sebelumnya sempat menguat 40 poin di posisi Rp16.437.
Pelemahan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap dinamika eksternal dan sinyal perlambatan ekonomi domestik.
Pasar keuangan global sedang diliputi ketidakpastian setelah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut belum ada rencana konkret untuk membuka dialog dagang dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Ketegangan antara dua kekuatan ekonomi dunia itu membuat pasar waspada, mengingat perundingan dagang AS-Tiongkok selama ini menjadi barometer stabilitas perdagangan internasional.
Trump memang mengisyaratkan adanya upaya menjalin kesepakatan dengan negara-negara lain, namun belum ada sinyal yang jelas soal penyelesaian dengan Tiongkok. Sementara itu, otoritas Beijing menyatakan evaluasi terhadap kemungkinan perundingan tetap terbuka, dengan catatan dialog dilakukan secara tulus dan berdasarkan penghapusan tarif sepihak.
Ketegangan di kawasan Timur Tengah juga turut menambah tekanan pada pasar, setelah ancaman dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyatakan potensi serangan lanjutan terhadap Iran. Situasi memanas usai kelompok Houthi di Yaman melancarkan serangan mematikan ke bandara di Israel.
"Rupiah tertekan karena kombinasi sentimen eksternal yang negatif, mulai dari ketidakpastian perang dagang AS-Tiongkok hingga ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Hal ini membuat investor global cenderung memilih aset safe haven seperti dolar AS dan menekan mata uang negara berkembang seperti rupiah," ujar Ibrahim Assuaibi, Pengamat Pasar Uang dalam keteranganya, Senin (5/5/2025).
Lebih lanjut, Ibrahim juga menyoroti kehati-hatian pelaku pasar menjelang pertemuan Federal Reserve yang akan dimulai akhir pekan ini. Fed diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan di tengah tekanan dari Presiden Trump yang secara terbuka mendorong penurunan suku bunga. Kebijakan moneter yang hati-hati dari The Fed mencerminkan kekhawatiran terhadap dampak lanjutan dari kebijakan tarif dan inflasi.
![Petugas menunjukkan mata uang Rupiah dan Dolar AS di tempat penukaran uang Dolar Indo, Jakarta, Kamis (20/10/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/10/20/95129-dolar-rupiah-ilustrasi-dolar-ilustrasi-rupiah-uang-dolar-dolar-amerika.jpg)
Sementara itu, dari dalam negeri, pelemahan rupiah juga tak lepas dari sinyal perlambatan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 hanya sebesar 4,87 persen secara tahunan (year-on-year), dan terkontraksi 0,89 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter).
Meskipun konsumsi rumah tangga tetap tumbuh 4,89 persen dan menjadi penopang utama PDB, akan tetapi kontribusi ini belum cukup kuat untuk menutupi kontraksi dari sektor-sektor lain.
Baca Juga: Chandra Asri Group Siapkan Capex 350 Juta Dolar AS untuk Jalankan Investasi CAA
"Pasar melihat sinyal perlambatan yang cukup serius di kuartal pertama tahun ini. Hal ini mempertegas bahwa pemulihan ekonomi belum sepenuhnya solid, terutama jika anggaran belanja pemerintah belum terserap optimal. Prospek kuartal berikutnya sangat tergantung pada stimulus fiskal dan efektivitas koordinasi antara moneter dan fiskal," jelas Ibrahim.