Nestapa Industri Properti Tanah Air: Aset Melimpah Tapi Miskin Likuiditas

Senin, 26 Mei 2025 | 10:07 WIB
Nestapa Industri Properti Tanah Air: Aset Melimpah Tapi Miskin Likuiditas
Ilustrasi properti. Kondisi properti saat ini (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Property dan Business Strategist Ishak Chandra mengatakan bahwa saat ini industri properti nasional terus berkembang.

Namun di tengah geliat pembangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, dan kawasan logistik, para pengembang menghadapi dilema klasik yakni likuiditas.

"Banyak dari mereka tampak 'kaya' karena menguasai aset bernilai tinggi, namun kesulitan mendapatkan dana tunai untuk ekspansi atau pengembangan proyek baru," kata Ishak dalam analisanya, Senin 26 Mei 2025.

Ishak berpendapat permasalahan ini berakar dari karakter dasar bisnis properti yang umumnya terbagi ke dalam dua kategori yakni proyek development dan proyek investment (menghasilkan recurring income).

Pada proyek development (seperti kawasan perumahan) pengembang menjual unit lebih awal, bahkan sejak tahap desain.

Dana dari penjualan tersebut langsung digunakan untuk proyek lain, memungkinkan perputaran modal yang cepat (capital recycling).

Sebaliknya, pada proyek recurring income seperti mal, perkantoran, gudang logistik, rumah sakit, sekolah dan proyek seperti entertainent, Theme Park, dll, pengembang mengandalkan pendapatan sewa jangka panjang.

Namun aset jenis ini sulit 'diuangkan/recyle' dalam waktu cepat karena nilainya sangat besar dan pasar pembelinya sangat terbatas.

"Akibatnya, aset produktif ini malah menjadi beban likuiditas," katanya.

Baca Juga: Tren Kerja Remote Picu Prospek Bisnis Real Estate Wellness di Bali?

Meski demikian untuk mengatasi masalah ini salah satu solusi yang semakin relevan adalah pemanfaatan instrumen Real Estate Investment Trust (REIT).

REIT memungkinkan pengumpulan dana dari 'anchor investor' dan publik (termasuk investor ritel) untuk membeli properti-properti skala besar.

Dengan demikian, REIT berperan sebagai pembeli institusional yang mampu menampung proyek-proyek besar yang selama ini sulit dijual.

"Melalui skema ini, pengembang dapat membangun dan mengoperasikan aset seperti pusat perbelanjaan, lalu menjualnya kepada REIT untuk memperoleh dana segar," paparnya.

Jika masih ingin tetap menikmati manfaat ekonomi dari aset tersebut, pengembang dapat menukar kepemilikannya dengan saham REIT, menjual sebagian saham untuk keperluan pendanaan, dan mempertahankan sebagian lainnya.

Skema ini memberi fleksibilitas tinggi bagi pengembang, tanpa kehilangan potensi arus kas jangka panjang dari aset yang sudah dibangun.

Lebih jauh, REIT juga berpotensi besar mendorong masuknya investasi asing langsung (capital inflow) dalam bentuk ekuitas.

HaI ini menjadi penting dalam situasi saat ini, di mana kebutuhan akan pembiayaan infrastruktur dan sektor riil semakin meningkat.

Dana yang masuk melalui REIT tidak akan berhenti di satu titik; ia akan diputar kembali oleh pengembang ke proyek-proyek baru, menciptakan efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian nasional.

“Industri properti memiliki efek berantai yang sangat kuat ke sektor konstruksi, tenaga kerja, hingga bahan bangunan. Maka, REIT bukan hanya solusi finansial pengembang, tapi juga strategi nasional untuk mempercepat pertumbuhan,” ujar Ishak yang juga Co-Founder & Group CEO Triniti land.

Ishak juga menekankan pentingnya reformasi kebijakan agar Indonesia tidak tertinggal.

Ia menyoroti perlunya model REIT yang lebih modern dan efisien, tidak hanya 'Externally Managed REIT' tapi juga 'Internally managed REIT' yang telah terbukti sukses di berbagai negara maju seperti di USA, Canada, UK, Belanda, dll, sebagaimana artikel yang dituliskan oleh Abdullah Syarifuddin di salah satu media nasional pada 14 Agustus 2024 yang berjudul 'Attracting Institutional Investors by modernizing REITs'.

"Tulisan tersebut tidak hanya tajam dalam analisis, tetapi juga menawarkan rekomendasi konkret. Menurut saya pribadi, pemikiran seperti ini sangat dibutuhkan dalam penyusunan arah kebijakan REIT nasional ke depan," katanya.

Oleh karena itu, sudah saatnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dan Bursa Efek Indonesia (BEI) duduk bersama membentuk 'task force' lintas lembaga guna menyusun aturan teknis yang progresif dan responsif terhadap dinamika pasar. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI