Suara.com - Industri fintech peer-to-peer lending (P2P lending) atau pinjaman daring (pindar) di Indonesia bukan lagi sekadar solusi konsumtif. Sebuah studi terbaru dari CORE Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengguna pindar justru memanfaatkan dana tersebut untuk usaha produktif, membawa dampak positif signifikan bagi peningkatan pendapatan dan pengembangan bisnis peminjam.
Direktur Riset Bidang Jasa Keuangan, Ekonomi Digital, dan Syariah CORE Indonesia, Etika Karyani, dalam Seminar Nasional 'Dampak Sosial-Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Fintech P2P Lending di Indonesia' di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (13/6/2025), mengungkapkan bahwa 67 persen responden survei CORE Indonesia menyatakan menggunakan pinjaman daring untuk usaha.
"Kami menanyakan pada responden apakah mereka menggunakan pinjaman daring untuk usaha, dan mayoritas 67 persen mengatakan iya," jelas Etika. Lebih lanjut, bila dirinci berdasarkan tujuan utama, 55 persen responden menjadikan usaha sebagai tujuan utama penggunaan pindar.
Tujuan lainnya mencakup pemenuhan kebutuhan primer (32 persen), pendidikan (7 persen), kesehatan (2 persen), dan kebutuhan darurat (2 persen). Menariknya, penggunaan untuk kebutuhan tersier seperti hiburan dan hobi hanya menyumbang 1 persen.
Hasil kajian CORE Indonesia secara tegas menunjukkan bahwa pinjaman yang dialokasikan untuk usaha membawa dampak positif yang berlipat ganda. Sebanyak 51 persen responden mengaku mengalami peningkatan pendapatan dan kemampuan memenuhi kebutuhan harian setelah memanfaatkan pindar untuk kebutuhan usaha.
Selain itu, akses terhadap pindar turut berkontribusi pada pengembangan usaha, terutama dalam peningkatan kapasitas produksi dan diversifikasi produk. Aspek lain yang juga merasakan dampak positif meliputi jumlah pelanggan, area pemasaran, dan bahkan jumlah karyawan.
Dalam hasil riset itu juga menemukan bahwa pindar membawa dampak jauh lebih positif jika dialokasikan untuk kegiatan usaha dibanding sekadar memenuhi kebutuhan konsumtif.
Etika mengatakan peminjam yang memanfaatkan dana pindar untuk bisnis cenderung merasakan stres cicilan yang jauh lebih ringan.
"Dibanding non-usaha, pinjaman yang digunakan untuk usaha cenderung mengalami tingkat stres lebih ringan, terutama berkaitan dengan pembayaran cicilan," kata Etika.
Baca Juga: CORE Indonesia: Ada Pergeseran Tren Hunian dari Pusat Kota
Etika memaparkan bahwa dalam hasil riset itu juga menunjukkan, peminjam untuk kegiatan bisnis merasakan dampak positif dalam relasi keluarga dan pertemanan. Mereka juga cenderung memiliki persepsi lebih baik terhadap bunga cicilan karena sudah terbiasa dengan sistem kredit dan memahami skemanya.
"Ibaratnya, mereka sudah 'makan asam garam' dunia perkreditan, jadi tidak kaget dengan hitung-hitungan bunga," katanya.
Lain cerita dengan peminjam non-usaha. Etika, menyoroti bahwa mereka cenderung lebih merasakan beban bunga pinjaman. "Mereka bisa jadi belum ada pembiayaan alternatif lainnya dan belum bisa memahami skema kreditnya," terang Etika.
Hal ini menunjukkan pentingnya edukasi finansial bagi calon peminjam, terutama bagi mereka yang belum familiar dengan dunia kredit.
Secara keseluruhan, Core Indonesia menyimpulkan bahwa pindar berdampak positif bagi peminjam, terutama yang menggunakannya untuk kegiatan usaha. Hal ini terlihat dari lebih dari 50 persen responden menyatakan pendapatan mereka meningkat setelah memanfaatkan P2P lending.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) layanan fintech peer-to-peer lending (P2P lending) atau pinjaman online (pinjol), serta skema pembiayaan buy now pay later (BNPL) disebutkan bahwa dalam penyaluran pinjamannya alami peningkatan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengungkapkan hingga Februari 2025, total penyaluran pinjaman melalui P2P lending ini mencapai Rp80,07 triliun.
"Angka ini melonjak dibandingkan posisi Desember 2024 yang tercatat sebesar Rp46,07 triliun," ujar Dian.
Dari total angka penyaluran pinjol ini, kontribusi pendanaan dari sektor perbankan mencapai Rp49,40 triliun, atau setara 61,69% dari total penyaluran.
OJK juga mencatat outstanding pembiayaan P2P lending pada April 2025 sebesar Rp80,94 triliun, atau tumbuh 29,01% secara tahunan (year-on-year/yoy). Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan Maret 2025 yang mencapai 28,72% yoy.
Sedangkan tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) juga mengalami sedikit kenaikan ke level 2,93% dari sebelumnya 2,77% pada Maret 2025.
Sementara itu, pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan juga mencatatkan pertumbuhan yang kuat. Pada April 2025, pembiayaan BNPL mencapai Rp8,24 triliun, meningkat 47,11% yoy (Maret 2025: 39,28% yoy).
Meski begitu, risiko kredit bermasalah (Non-Performing Financing/NPF) gross juga naik menjadi 3,78%, dari 3,48% pada bulan sebelumnya.
Karena itu, sebagai respons atas meningkatnya peran fintech dalam penyaluran pembiayaan, Dian bilang pihak telah menerbitkan pedoman kerja sama antara perbankan dan perusahaan fintech.
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan panduan dalam penerapan professional judgement terhadap kebutuhan kolaborasi.
"Hal ini agar tetap berada dalam koridor prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik," tandasnya.