Cukai Minuman Manis Batal Berlaku di 2025

Selasa, 17 Juni 2025 | 19:37 WIB
Cukai Minuman Manis Batal Berlaku di 2025
Pengunjung memilih produk minuman berpemanis di salah satu ritel di Jakarta, Senin (18/12/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya memastikan bahwa kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tidak akan diterapkan pada tahun 2025.

Keputusan ini diumumkan langsung oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Djaka Budi Utama, dalam konferensi pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).

"Terkait pemberlakuan MBDK sampai dengan saat ini, mungkin itu sampai 2025 sementara tidak akan diterapkan. Mungkin ke depannya akan diterapkan," kata Djaka, mengindikasikan bahwa penundaan ini bukan pembatalan permanen, melainkan penyesuaian strategi pemerintah.

Penundaan ini tentu menarik perhatian, mengingat kebijakan cukai MBDK sudah berkali-kali batal diterapkan atau ditunda sebelumnya. Padahal, pemerintah sebenarnya telah menargetkan pendapatan cukup besar dari cukai MBDK, yakni Rp 3,8 triliun pada tahun 2025.

Djaka tidak menjelaskan secara rinci alasan di balik penundaan ini, namun ia mengisyaratkan bahwa penerapan kebijakan ini sangat mempertimbangkan perkembangan perekonomian nasional. Artinya, pemerintah mungkin melihat bahwa kondisi ekonomi saat ini belum ideal untuk membebani masyarakat dengan cukai tambahan.

Meski demikian, Djaka tetap optimis bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai secara keseluruhan akan mampu mencapai target yang ditetapkan, yakni sebesar Rp 301,6 triliun, meskipun tanpa kontribusi dari cukai MBDK.

"Bagaimana cara menutupi, tentunya dengan komponen-komponen penerimaan yang dibebankan kepada Bea Cukai tentunya saya mohon doanya bahwa Bea Cukai bisa memenuhi target yang ditetapkan," ucap Djaka, menunjukkan keyakinan pada sumber penerimaan lain.

Data terkini hingga 31 Mei 2025 menunjukkan kinerja yang cukup positif dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai telah mencapai Rp 122,9 triliun, atau sekitar 40,7 persen dari target APBN. Angka ini juga menunjukkan pertumbuhan yang solid sebesar 12,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Cukai Minuman Berpemanis (CMBP) adalah pungutan negara yang dikenakan pada produk minuman yang mengandung pemanis tambahan, baik gula maupun pemanis buatan. Ini adalah salah satu jenis cukai yang termasuk dalam kategori cukai atas barang kena cukai (BKC), diatur oleh pemerintah untuk tujuan tertentu, biasanya terkait dengan kesehatan masyarakat dan penerimaan negara.

Baca Juga: Anggaran MBG Prabowo Meroket Rp1,1 Triliun dalam Setengah Bulan

Konsumsi minuman berpemanis berlebih dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan kerusakan gigi. Dengan menaikkan harga melalui cukai, diharapkan masyarakat akan mengurangi konsumsi minuman tersebut.

Seperti jenis cukai lainnya, CMBP juga menjadi sumber pendapatan tambahan bagi APBN. Dana ini bisa digunakan untuk membiayai program-program kesehatan atau pembangunan lainnya.

Pemerintah berharap adanya cukai ini akan mendorong produsen untuk menciptakan produk minuman yang lebih sehat dengan kadar pemanis lebih rendah, atau mendorong konsumen untuk memilih minuman tanpa pemanis.

Cukai biasanya dipungut oleh pemerintah dari produsen atau importir minuman berpemanis, bukan langsung dari konsumen akhir. Namun, biaya cukai ini kemungkinan besar akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga jual produk yang lebih tinggi.

Di Indonesia, wacana dan rencana penerapan Cukai Minuman Berpemanis sudah cukup lama bergulir, bahkan sudah masuk dalam revisi Undang-Undang Cukai. Namun, hingga saat ini implementasinya masih dalam tahap pembahasan dan belum resmi diberlakukan. Berbagai kementerian dan lembaga terkait masih mengkaji dampak ekonomi, sosial, dan kesehatan dari penerapan cukai ini, serta berkoordinasi dengan industri terkait.

Penerapan CMBP adalah tren global yang banyak diterapkan di berbagai negara sebagai upaya mengatasi krisis kesehatan akibat pola konsumsi gula berlebih.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI