Suara.com - Pemerintah Indonesia membuka peluang untuk menggunakan teknologi nuklir asal China atau Rusia dalam rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di Tanah Air.
Teknologi yang tengah dikaji adalah model small modular reactor (SMR), yang dianggap lebih cocok untuk kebutuhan nasional dibandingkan reaktor berkapasitas besar.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menjelaskan, pemerintah saat ini masih dalam tahap penjajakan teknologi. Sejumlah negara telah dikunjungi untuk meninjau kesiapan mereka dalam penerapan teknologi SMR, termasuk Kanada, Korea Selatan, China, dan Rusia.
"Jadi di Kanada ini apakah mereka memiliki SMR atau tidak? Ternyata tidak. Kemudian Korea Selatan juga kita jajaki, ternyata mereka memiliki kapasitas large scale. Jadi untuk teknologi yang ditawarkan katanya itu ada dari China atau dari Rusia," ujar Yuliot di Kementerian ESDM, Jakarta, yang dikutip Sabtu (21/6/2025).
![Sebuah fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir di Jerman. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/11/09/17718-pltn.jpg)
Dengan fakta bahwa hanya China dan Rusia yang sudah memiliki teknologi SMR yang siap pakai, keduanya menjadi kandidat utama untuk kerja sama pengembangan PLTN di Indonesia. Selain soal kecocokan teknologi, pemerintah juga mempertimbangkan aspek tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam proyek ini.
"Ini kan kami mempertimbangkan teknologi terlebih dulu, dan juga persyaratan TKDN, kami mempersyaratkan untuk TKDN-nya sekitar 40 persen," kata Yuliot.
Dalam konteks tersebut, pemerintah menekankan bahwa teknologi yang diadopsi harus mampu diintegrasikan dengan kemampuan industri nasional agar memberikan dampak ekonomi lebih luas. Karena itu, TKDN menjadi salah satu syarat utama dalam proses seleksi mitra teknologi PLTN.
Lebih lanjut, Yuliot meminta agar publik bersabar menunggu hasil kunjungan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ke Rusia yang turut mendampingi Presiden Prabowo Subianto. Ia mengisyaratkan bahwa pembahasan soal PLTN, termasuk kerja sama teknologi, bisa saja menjadi salah satu agenda dalam pertemuan bilateral tersebut.
"Ini mungkin dari kunjungan Pak Menteri kemarin, mungkin ada pembahasan. Kita tunggu penjelasan dari Pak Menteri," ucapnya.
Baca Juga: Bahlil Rayu Putin Berikan Teknologi Rusia Optimalkan Ladang Minyak Tua
Sementara itu, Kementerian ESDM juga sedang mempersiapkan regulasi penting berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang akan mengatur tata kelola pengolahan uranium menjadi bahan bakar nuklir untuk PLTN. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal menuju pembangunan ekosistem energi nuklir yang terintegrasi.
Yuliot menyebut bahwa Indonesia memiliki potensi uranium yang cukup signifikan, terutama di wilayah Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, yang diperkirakan menyimpan cadangan hingga 24.112 ton.
"Ini kami lagi siapkan PP-nya, mudah-mudahan dari PP-nya itu bisa diimplementasikan untuk pemurnian pengolahan bahan radioaktif itu bisa dimanfaatkan untuk energi," kata dia.
Untuk diketahui, Pengembangan energi nuklir ini merupakan bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034. Dalam rencana tersebut, pemerintah menetapkan target pembangunan dua unit PLTN berkapasitas masing-masing 250 megawatt (MW) yang berlokasi di Sumatera dan Kalimantan. Dengan demikian, total kapasitas listrik dari PLTN yang direncanakan mencapai 500 MW.
Pemerintah menargetkan pasokan listrik dari PLTN akan mulai masuk ke jaringan PLN pada periode 2032–2033.
Dari total target penambahan pembangkit tersebut, 42,6 GW dialokasikan untuk pembangkit berbasis EBT dan 16,6 GW berasal dari sumber energi fosil. Komposisi ini mencerminkan strategi jangka panjang pemerintah dalam mengurangi ketergantungan terhadap energi berbasis karbon dan mempercepat transisi menuju bauran energi yang lebih ramah lingkungan.