Kritik Pedas usai Danantara Suntik Modal Rp6 T ke Garuda: Sakit Jantung Tapi Obatnya Sakit Kulit!

Rabu, 25 Juni 2025 | 17:15 WIB
Kritik Pedas usai Danantara Suntik Modal Rp6 T ke Garuda: Sakit Jantung Tapi Obatnya Sakit Kulit!
Maskapai Garuda Indonesia terparkir di terminal II Bandara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang, Banten, Jumat (12/12). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Suara.com - Suntikan modal Danantara ke PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) sebesar Rp6, 65 triliun menuai sorotan tajam dari pengamat BUMN, Herry Gunawan.

Menurutnya, kucuran dana tersebut hanyalah "menggarami laut" dan tak akan menyelesaikan akar masalah yang dihadapi maskapai pelat merah itu. Ibaratnya, kata Herry, ini seperti "mengobati sakit jantung dengan obat sakit kulit".

"Suntikan modal yang diberikan Danantara tidak akan menyelesaikan masalah. Dana itu, seperti kata COO Danantara Dony Oskaria, untuk pemulihan operasional. Masalahnya, persoalan urgent yang dihadapi Garuda bukan soal itu, melainkan kewajiban keuangan yang terutama berasal dari pinjaman dan sewa pesawat," tegas Herry Gunawan saat dihubungi Suara.com, Rabu (25/6/2025).

Herry memaparkan analisisnya berdasarkan laporan keuangan Garuda. Ia menyoroti bahwa secara operasional, Garuda sebenarnya masih mencatatkan surplus. Hal ini terlihat dari arus kas operasinya pada kuartal I 2025 yang mencapai USD162,3 juta. Namun, begitu beban keuangan dari utang dimasukkan, perusahaan langsung terperosok ke dalam kerugian.

Jajaran Direksi Garuda Indonesia bersama Pengurus BPI Danantara/(Suara.com/Achmad Fauzi).
Jajaran Direksi Garuda Indonesia bersama Pengurus BPI Danantara/(Suara.com/Achmad Fauzi).

Ini menjadi bukti bahwa masalah utama Garuda bukan pada kemampuan operasionalnya menghasilkan kas, melainkan pada gunungan beban utang dan kewajiban keuangan yang membayangi. Oleh karena itu, bagi Herry, suntikan modal yang ditujukan untuk operasional hanyalah solusi semu yang tidak menyentuh inti persoalan.

Lebih lanjut, Herry Gunawan melontarkan kritik pedas terhadap manajemen Garuda saat ini. Ia menilai, meskipun persoalan yang dihadapi adalah warisan dari manajemen sebelumnya, namun manajemen yang sekarang juga tidak memiliki sense of crisis.

"Seolah-olah Garuda adalah perusahaan yang sedang menangguk laba," sindirnya.

Ketidakhadiran sense of crisis ini, menurut Herry, terlihat dari beberapa indikasi. Salah satunya adalah isu yang sempat ramai mengenai tim di lingkungan BOD Office, yang justru mampu memperlihatkan perbaikan di lingkungan Garuda. Selain itu, Herry juga menyoroti beban-beban usaha Garuda yang tidak terkait langsung dengan bisnis sebagai operator penerbangan namun terus meningkat.

Contohnya, beban operasional transportasi, beban operasional jaringan, dan beban pelayanan penumpang. Yang paling mencolok, beban untuk karyawan juga naik signifikan dari USD102,1 juta pada kuartal I-2024 menjadi USD122,8 juta di kuartal I-2025.

Baca Juga: Selain Garuda, BUMN Mana Lagi yang Bakal Dapat Dana Segar dari Danantara?

"Sulit untuk mempercayai bahwa Garuda sedang melakukan perbaikan," ujar Herry, skeptis terhadap klaim manajemen. Ia bahkan menyebut alasan Danantara yang menyebut suntikan dana itu sebagai upaya menyelamatkan "simbol kedaulatan negara" dan "kebanggaan nasional" merupakan alasan yang dibuat-buat saja dan tidak relevan dengan kondisi finansial sebenarnya.

Herry Gunawan menekankan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan Garuda adalah menunjukkan bahwa manajemen benar-benar punya sense of crisis. Ia meminta manajemen untuk tidak lagi berlindung di balik jargon "national flag carrier".

"Romantisme seperti itu sudah tidak penting lagi, dan tidak ada urgensinya negara punya maskapai penerbangan," tegasnya, menantang pandangan tradisional tentang keberadaan maskapai nasional.

Tak hanya Garuda, Herry juga menyentil Danantara. Ia menyarankan agar Danantara memeriksa kembali model bisnis yang dijalankan Garuda, apakah masih relevan atau tidak. Herry menggarisbawahi adanya bisnis-bisnis non-inti yang masih dimiliki Garuda, padahal ada BUMN lain yang juga fokus di sektor tersebut.

"Misalnya, apakah Garuda masih perlu punya bisnis biro perjalanan wisata seperti Garuda Indonesia Holiday France S.A.S, atau hotel dan jasa boga yang dikelola Aero Wisata, jasa sistem kompiyerisasi reservasi. Ini di antara perusahaan-perusahaan yang masih dimiliki secara langsung. Perusahaan yang dibentuk dari hasil kerja sama di bidang perhotelan maupun biro perjalanan masih banyak lagi. Padahal, ada BUMN yang juga fokus di situ, seperti InJourney," paparnya, menyiratkan bahwa Garuda terlalu "gemuk" dan perlu fokus pada bisnis intinya.

Terakhir, Herry Gunawan memberikan pesan keras kepada Danantara. "Menurut saya, yang perlu dilakukan oleh Garuda pertama-tama adalah tunjukan bahwa manajemen punya sense of crisis. Jangan berlindung dengan jargon 'national flag carrier'. Romantisme seperti itu sudah tidak penting lagi, dan tidak ada urgensinya negara punya maskapai penerbangan," pungkasnya.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI