Suara.com - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan mendapat tekanan berat akibat membengkaknya subsidi listrik. Pasalnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan besaran subsidi listrik akan melonjak tahun ini.
Awalnya, subsidi listrik dalam pagu APBN 2025 ditetapkan sebesar Rp 87,71 triliun.
Namun, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Senin, 1 Juli lalu, mengungkapkan subsidi tersebut diperkirakan naik menjadi Rp 90,32 triliun.
“Memang ini dipicu oleh parameter yang tidak bisa dikendalikan. Jadi, ya, kurs ini memang sangat menentukan karena terus naik. Sehingga ada kenaikan di sisi lain,” kata Jisman dalam RDP tersebut.
Dalam penentuan tarif listrik, terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi, namun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menjadi faktor paling berdampak, mengingat sebagian besar komponen pembangkit listrik dan bahan bakarnya diimpor.
Saat ini, kurs rupiah terus melemah hingga menembus level Rp 16.200 per USD. Akibatnya, biaya operasional untuk memproduksi listrik turut meningkat.
Selain itu, inflasi juga menjadi faktor penting karena dapat memengaruhi biaya operasional, seperti pemeliharaan jaringan, gaji pegawai, dan operasional pendukung lainnya.
Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyatakan pemerintah memang tidak memiliki banyak pilihan selain menambah beban subsidi listrik, karena tiga variabel tersebut berada di luar kendali pemerintah.
“Ya, kalau harga pokok penyediaan listrik yang dipengaruhi oleh tiga variabel tadi tidak bisa dikontrol, maka ketika terjadi kenaikan, otomatis harga pokok naik, kurs naik, dan kalau tarif tidak dinaikkan, maka beban subsidi akan naik,” jelas Fahmy saat dihubungi Suara.com.
Baca Juga: Bahlil Ngadu ke DPR Susah Tidur Gara-gara Lifting Minyak
Anggaran Selalu Naik
Dari tahun ke tahun, anggaran subsidi listrik memang terus meningkat. Dalam paparannya, Jisman menyebut pada 2020 subsidi listrik tercatat sebesar Rp 48 triliun, naik menjadi Rp 50 triliun pada 2021.
Selanjutnya, pada 2022 subsidi melonjak menjadi Rp 59 triliun, naik lagi menjadi Rp 68 triliun pada 2023, dan pada 2024 mencapai Rp 77 triliun.
Menurut Fahmy, tidak ada cara cepat bagi pemerintah untuk mengurangi beban subsidi listrik. Salah satu solusi jangka panjang adalah mengalihkan sistem energi ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Namun demikian, proses transisi tersebut membutuhkan waktu lama, bisa mencapai puluhan tahun. Oleh karena itu, subsidi listrik masih menjadi instrumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Saya kira memang penting sekali beralih ke EBT. Bukan hanya untuk menekan subsidi, tapi juga demi menggunakan energi yang lebih bersih. Tapi migrasi ke energi baru dan terbarukan itu tidak mudah dan memerlukan waktu lama. Bahkan, untuk pensiun dini pembangkit saja butuh waktu 10–15 tahun. Artinya, program migrasi ke EBT baru bisa diandalkan untuk mengurangi subsidi dalam jangka panjang," ujar Fahmy.
Program Bocor
Fahmy juga menyoroti data penerima subsidi listrik yang belum sepenuhnya tepat sasaran. Menurutnya, hingga kini masih terjadi kebocoran dalam pelaksanaan subsidi.
Ia mencontohkan rumah-rumah dengan daya listrik 900 Volt Ampere (VA) yang kemudian dialihfungsikan menjadi usaha kos-kosan. Padahal, menurutnya, golongan ini seharusnya tidak berhak mendapat subsidi.

Kementerian ESDM mencatat bahwa penerima subsidi listrik mencakup golongan rumah tangga R1 450 VA dan R1 900 VA, dengan jumlah masing-masing mencapai 24,75 juta dan 85,40 juta pelanggan.
Selain itu, bisnis kecil, industri kecil, kantor pemerintahan desa, dan sarana sosial juga masuk dalam penerima subsidi listrik.
"Nah, saya kira yang bisa dilakukan pemerintah atau PLN adalah melakukan peninjauan ulang terhadap siapa saja yang berhak menerima subsidi. Sekarang ini semua pelanggan 450 VA masih menerima subsidi. Begitu juga pelanggan 900 VA, ini juga perlu pendataan ulang. Tidak semuanya harus dapat," ujarnya.
Solusi Agar Subsidi Tak Bengkak
Fahmy menekankan pentingnya validasi data penerima subsidi. Pemerintah harus merombak data agar lebih transparan mengenai siapa saja yang berhak menerima bantuan tersebut.
Dengan data yang akurat, menurutnya, beban subsidi bisa ditekan sehingga anggaran negara tidak terbuang sia-sia.
Dalam paparannya, Jisman menjelaskan, pemerintah sebenarnya sudah memiliki strategi untuk mengendalikan subsidi listrik, seperti penetapan roadmap specific fuel consumption (SFC) pembangkit PLN, kebijakan harga gas bumi tertentu sebesar USD 6 per MMBTU, serta roadmap susut jaringan tenaga listrik PLN.
Selain itu, ada pula kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga batubara USD 70 per ton, dan strategi penggunaan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) agar penyaluran subsidi lebih tepat sasaran.
"Jadi, saya kira yang paling memungkinkan dilakukan adalah memastikan subsidi benar-benar tepat sasaran. Kalau itu bisa dijalankan, maka beban subsidi bisa berkurang dan jumlah subsidi bisa diturunkan," pungkas Fahmy.