Suara.com - Gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh perusahaan pinjaman online (pinjol) Creative Mobile Adventure (CMA) terhadap PT Sari Kreasi Boga Tbk (RAFI), emiten pemilik brand Kebab Baba Rafi, telah menimbulkan kegaduhan dan dinilai menciptakan preseden buruk bagi industri keuangan berbasis digital.
Padahal, utang yang menjadi pangkal masalah hanyalah Rp2 miliar, jumlah yang sangat kecil dibandingkan total aset RAFI.
Pakar Hukum Keuangan dan pengamat Industri Keuangan Digital, Mas Ahmad Yani, menilai langkah PKPU yang dilakukan CMA terlalu dini. "PKPU itu jalan terakhir jika ditagih tidak bayar dan sulit melakukan komunikasi. Sehingga kreditur ingin menyita aset debitur,” ungkapnya.
Faktanya, manajemen RAFI, yang juga dikenal sebagai SKB Food, telah menjelaskan bahwa komunikasi dan upaya penyelesaian utang dengan CMA berjalan baik, bahkan bunga utang tetap dibayarkan oleh RAFI.
Mas Ahmad Yani, yang juga Doktor Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), menegaskan bahwa suatu pihak dapat di-PKPU-kan jika posisi utangnya telah mencapai minimal 50 persen dari total aset. Ia menyoroti adanya celah dalam Undang-Undang PKPU yang memungkinkan kreditur mengajukan PKPU hanya karena merasa tagihannya terhambat.
“Memang dengan Undang Undang PKPU baru membuka ruang kreditur yang merasa terhambat tagihannya berhak mengajukan PKPU. Nah ini salahnya. Semestinya kalau mem-PKPU-kan itu jika dalam kondisi utangnya sudah mencapai 50 persen dari aset,” jelasnya.
Data menunjukkan bahwa utang RAFI kepada CMA hanya sebesar Rp2 miliar. Sementara itu, laporan keuangan RAFI tahun 2024 menunjukkan total aset sebesar Rp479,3 miliar dengan ekuitas Rp312,7 miliar. Total utang jangka pendek RAFI adalah Rp59,8 miliar.
"Artinya kalau pun proses PKPU dilanjutkan seharusnya tidak akan dikabulkan oleh pengadilan,” ujar Mas Ahmad Yani, menegaskan bahwa gugatan PKPU tersebut sangat tidak proporsional.
Mas Ahmad Yani menilai tindakan CMA ini sebagai upaya "nakal" untuk memberikan peringatan kepada debitur, namun justru menjadi kesalahan fatal yang merusak sistem. "Nah itu cara nakal atau apa, ya sudah kita PKPU kan saja dulu. Nanti cabut lagi. Tapi itu merusak sistem,” tegasnya.
Baca Juga: Aguan-Salim Tawarkan Properti Mewah Untuk Para Sultan
Gugatan PKPU ini telah menciptakan kerugian non-materiil yang besar bagi RAFI sebagai perusahaan publik yang harus mengedepankan kepentingan investor. Selain kerugian reputasi, situasi ini juga berdampak buruk bagi industri pinjol itu sendiri.
"Ya itu membuat gaduh di bursa sehingga rentan terjadi perusakan risiko reputasi. Risiko usaha itu ada 8, salah satunya risiko reputasi,” jelasnya. Padahal, pemanfaatan dana dari Fintech oleh perusahaan publik seharusnya menjadi langkah positif dan meningkatkan reputasi baik bagi industri keuangan digital. Namun, kejadian ini justru menciptakan dampak sebaliknya.
Direktur Utama RAFI, Eko Pujianto, dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI) menjelaskan bahwa utang Rp2 miliar kepada CMA merupakan fasilitas invoice financing untuk pembiayaan modal kerja jangka pendek (by project), khususnya transaksi komoditi pangan dengan tenor 3 bulan.
"Kewajiban atas fasilitas dari PT Creative Mobile Adventure yang jatuh tempo pada bulan Maret 2025 telah terjadi penundaan pembayaran. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya penundaan pembayaran dari sejumlah pelanggan,” terangnya.
Akibat situasi tersebut, CMA secara sepihak mendaftarkan gugatan PKPU di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juli 2025. Namun, gugatan tersebut akhirnya dicabut kembali pada 10 Juli 2025.
Dampak negatif akibat langkah CMA ini terjadi di tengah upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terus berupaya meningkatkan persepsi positif layanan keuangan berbasis teknologi ini, bahkan dengan merebranding istilah "Pinjol" menjadi "Pinjaman Daring (Pindar)". Insiden ini dikhawatirkan dapat menghambat upaya positif tersebut.