Suara.com - Tahun 2025 diwarnai dengan dinamika ekonomi yang penuh tantangan. Mulai dari bayang-bayang inflasi yang masih terasa, ketegangan geopolitik global, hingga perubahan suku bunga yang sulit diprediksi.
Di tengah badai ketidakpastian ini, para investor, terutama dari kalangan milenial dan Gen Z, dihadapkan pada persimpangan klasik.
Harus berlabuh ke mana dana investasi? Ke "benteng pertahanan" abadi bernama emas, atau tetap mengarungi lautan peluang di saham?
Pertanyaan ini bukan sekadar tentang memilih instrumen, tetapi tentang strategi bertahan dan bertumbuh di era yang serba tak menentu.
Keduanya menawarkan janji keuntungan, namun dengan jalan dan risiko yang sangat berbeda. Mari kita bedah tuntas, mana yang lebih berpotensi untung di tengah gejolak ekonomi saat ini.
Mesin Pertumbuhan vs Penjaga Nilai
Perdebatan utama antara emas dan saham seringkali berpusat pada potensi imbal hasilnya.
-Saham
Secara historis, saham adalah mesin pertumbuhan (growth engine) dengan potensi imbal hasil yang jauh lebih tinggi dalam jangka panjang.
Baca Juga: BI Klaim IHSG Rebound Berkat Negosiasi Tarif Trump dan Optimisme Pelaku Pasar
Ketika Anda membeli saham, Anda membeli sebagian kecil kepemilikan di sebuah perusahaan.
Jika perusahaan itu untung besar, inovatif, dan bertumbuh, harga sahamnya bisa meroket, memberikan keuntungan modal (capital gain) dan dividen.
Namun, performanya sangat terikat pada kesehatan ekonomi dan kinerja perusahaan. Saat ekonomi lesu, pendapatan perusahaan bisa anjlok, dan harga saham pun ikut terjun bebas.
-Emas
Di sisi lain, emas bukanlah mesin pertumbuhan. Logam mulia ini tidak memberikan dividen dan nilainya tidak bergantung pada kinerja perusahaan.
Emas adalah penjaga nilai (store of value). Keuntungannya bukan berasal dari penciptaan nilai baru, melainkan dari kemampuannya untuk mempertahankan daya beli di saat mata uang kertas tergerus inflasi.