Sementara itu staf ahli dan juru bicara masalah ekonomi Kantor Komunikasi Presiden, Fithra Faisal Hastiadi, menyatakan kesepakatan antara Indonesia dan AS memiliki peran penting bagi AS karena menjadi semacam trend yang diikuti dengan kesepakatan-kesepakatan antara AS dengan negara-negara lain, yaitu Filipina, Jepang, Uni-Eropa, dan Korea Selatan.
Ia juga mengatakan bahwa kesepakatan tarif yang akhirnya diumumkan itu adalah hasil dari sebuah usaha terbaik yang telah dilakukan pemerintah Indonesia.
Bagi ahli ekonomi yang memperoleh gelar doktor dari Universitas Waseda Jepang ini, keberhasilan memperoleh tarif dari AS hingga sekitar 15 sampai 20 persen adalah skenario yang paling ideal.
“Peristiwa kemarin ideal sekali, dan merupakan the best deal (kesepakatan terbaik). Dan andai ada negara lain yang mendapatkan 15 persen, maka kita akan memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi kedua,” tutur dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia ini yang berbicara pada seminar melalui daring.
Fithra juga menuturkan bahwa kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS ini memperlihatkan bahwa Indonesia dianggap lebih favorit oleh AS dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya dibandingkan dengan Vietnam yang memperolah tarif 20 persen.
Menurutnya, Indonesia juga berhak meminta negosiasi lebih lanjut bila terdapat negara-negara anggota ASEAN (Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara) yang memperoleh tarif lebih rendah, misalnya 15 persen.
“Bahkan kita sedang mengusahakan agar produk-produk Indonesia yang tidak bersaing langsung dengan produk-produk AS, seperti nikel, kayu manis, rempah, mineral kritis, produk agrikultur, kopi, kakao, dan minyak kelapa mentah, dapat mendapatkan penurunan tarif hingga 0 persen,” katanya.
Oleh karenanya, Fithra berpandangan bahwa kesepakatan tarif yang sudah dicapai merupakan yang terbaik bagi rakyat AS dan Indonesia.
Lily Yan Ing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (AEI), yang menjadi pembicara dalam seminar tersebut, menyampaikan pandangan yang berbeda. Menurutnya, kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS justru memunculkan dilema.
Baca Juga: Istana Lempar Bola Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Lembong: Kapan Prabowo Teken Keppres?
Ia mengkhawatirkan apa yang Indonesia telah tawarkan pada AS dalam kesepakatan tarif pada awal Juli 2025 ini menjadi preseden yang sangat buruk, karena akan dipertanyakan oleh mitra dagang Indonesia yang lain, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan negara-negara mitra yang lain.
“Mereka akan bertanya mengapa Indonesia hanya menawarkan kepada AS, dan tidak kepada yang lain,” tutur Lily.
Oleh karenanya, Lily meminta agar dilakukan negosiasi kembali terhadap tarif yang telah disepakati sesuai dengan hukum internasional dan prinsip saling menghormati.
Terkait dengan hubungan ekonomi Indonesia China, Lily mengingatkan bahwa China sebenarnya juga memiliki isu struktural.
“Pertama adalah kapasitas yang berlebih (over capacity), sedangkan yang kedua adalah subsidi yang berlebih pada sektor industrial,” tegasnya.
Oleh karenanya, Lily menghimbau agar dalam melakukan negosiasi dengan China, Indonesia menekankan agar China melakukan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restriction) untuk produk yang memiliki kesamaan dengan produk-produk di Indonesia, seperti garmen, alas kaki, dan produk-produk lain yang berbasis tenaga kerja intensif.