- Indonesia masih terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan ketimpangan.
- Buruknya kualitas lapangan kerja dan ketimpangan yang mengakar menjadi biang keladi dari masalah ini.
- Peluang anak dari keluarga terkaya untuk masuk perguruan tinggi adalah 9 kali lebih besar dibandingkan anak dari keluarga termiskin.
Suara.com - Di balik klaim keberhasilan penurunan angka kemiskinan, sebuah realitas pahit terungkap bahwa Indonesia masih terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan dan ketimpangan struktural.
Dalam laporan Core Indonesia bertajuk "Tantangan Struktural di Balik Kebijakan Injeksi Likuiditas" seperti dilihat Suara.com, Kamis (18/9/2025) menunjukkan, perbaikan statistik tidak sebanding dengan kondisi nyata.
"Mayoritas penduduk hidup 'satu langkah' dari garis kemiskinan, sementara kebijakan pemerintah dinilai cenderung memperparah jurang pemisah antara si kaya dan si miskin," tulis laporan itu.
Buruknya kualitas lapangan kerja dan ketimpangan yang mengakar menjadi biang keladi dari masalah ini. Data World Inequality Database (2022) menunjukkan, sejak tahun 1992, 10% kelompok teratas konsisten menguasai lebih dari 40% pendapatan nasional, sementara 50% penduduk terbawah hanya memperoleh 13-17%.
Ketimpangan ini diperkuat oleh kesenjangan akses yang ekstrem. Data BPS mengungkapkan, peluang anak dari keluarga terkaya untuk masuk perguruan tinggi adalah 9 kali lebih besar dibandingkan anak dari keluarga termiskin.
"Hal serupa terjadi pada akses digital, di mana anak dari keluarga miskin tiga kali lebih kecil kemungkinannya memiliki akses internet," tulisnya.
Kondisi ini tercermin pula dalam struktur wajib pajak yang timpang. Dari 122,1 juta tenaga kerja, sekitar 107 juta orang (87,7%) bahkan belum masuk ambang batas kena pajak karena penghasilan mereka di bawah Rp54 juta per tahun. Ironisnya, kelas menengah pekerja dengan penghasilan Rp60 juta–Rp250 juta per tahun justru menjadi tulang punggung utama penerimaan pajak, menyumbang sekitar 46% dari total setoran PPh 21.
Di sisi lain, kelompok super kaya dengan penghasilan di atas Rp1 miliar per tahun meski jumlahnya hanya 0,1% dari total wajib pajak tetap berkontribusi signifikan, menunjukkan bahwa beban pajak sangat terkonsentrasi pada segelintir orang.
Menurut Core kebijakan pemerintah, seperti injeksi likuiditas Rp200 triliun, justru berpotensi memperparah ketimpangan. Dana jumbo ini cenderung mengalir ke kelompok yang sudah memiliki akses keuangan lebih baik, yaitu korporasi besar dan individu berpendapatan tinggi.
Baca Juga: Bangunan Sekolah Rusak, Siswa SD Negeri 1 Bone Raya Belajar di Masjid
"Hal ini diperburuk oleh kebijakan perpajakan yang menguntungkan orang kaya, seperti tax holiday, tax allowance, dan pembebasan PPh dividen," katanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perbaikan statistik kemiskinan tidak otomatis sejalan dengan perbaikan kualitas hidup. Indeks Kedalaman Kemiskinan menunjukkan bahwa mereka yang berada di bawah garis kemiskinan mengalami tekanan lebih berat untuk memenuhi kebutuhan dasar.
"Lingkaran setan kemiskinan terus berputar, di mana pendapatan rendah menyebabkan produktivitas rendah, yang kemudian melanggengkan pendapatan rendah dari generasi ke generasi," tulisnya.
Penanganan kemiskinan di perkotaan juga menjadi sorotan. Meskipun jumlah penduduk miskin di perdesaan turun, di perkotaan justru bertambah. Hal ini mengonfirmasi bahwa transformasi ekonomi tanpa jaring pengaman sosial yang memadai menjadikan perkotaan sebagai episentrum kerentanan baru, diperparah oleh tingginya tingkat informalitas.