Uang Digital Terus Berkembang Pesat di Indonesia

Jum'at, 14 November 2025 | 10:56 WIB
Uang Digital Terus Berkembang Pesat di Indonesia
Ilustrasi uang digital. (Freepik)

Suara.com - Ekonomi digital Indonesia kini menjadi salah satu jaringan keuangan paling dinamis di Asia Tenggara. Dari kota besar hingga kota kecil, orang-orang membayar, menabung, dan meminjam lewat ponsel mereka. Sistemnya berjalan cukup mulus sehingga uang tunai beralih menjadi opsi, bukan lagi kebiasaan utama. Sebagian besar pengguna mengandalkan dompet digital dan bank daring, sementara sebagian kecil bereksperimen dengan platform forex berskala mikro seperti akun cent lebih sebagai cara memahami cara kerja keuangan global daripada sebagai investasi besar.

Setelah menempuh beberapa tahun yang penuh gejolak, perekonomian Indonesia kini tampak kembali stabil. Inflasi berhasil turun hingga sekitar 2,6 %, dan nilai tukar rupiah tetap berada di kisaran Rp 15.700 per dolar AS selama beberapa bulan terakhir. Bank Indonesia memelihara suku bunga acuan pada level enam persen sepanjang 2025 demi menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas harga. Lembaga tersebut masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi mendekati lima persen tahun ini, didorong oleh konsumsi rumah tangga yang kuat serta laju layanan digital yang terus melaju pesat.

Perubahan itu sudah terasa di tiap sudut keseharian. Di Yogyakarta, pedagang kaki lima kini lebih sering mengarahkan scanner ke kode QR daripada menghitung uang tunai. Pengemudi ojek pun tak lagi mengeluarkan uang kertas untuk mengisi bensin; cukup sentuh dompet digital, urusan selesai. Bahkan warung kecil menempelkan papan QRIS yang dicetak di atas karton bekas. Menurut Bank Indonesia, total transaksi QRIS sudah menembus Rp 300 triliun pada pertengahan 2025—rekor tertinggi sejak masa pandemi. Sementara itu, data OJK mengungkap lebih dari 130 juta orang Indonesia memakai setidaknya satu aplikasi dompet digital, seperti GoPay, OVO, DANA, atau ShopeePay.

Perubahan tak berhenti pada cara bayar semata. Bank-bank digital seperti Jago, SeaBank, dan BCA Digital kini berfungsi sebagai gerbang utama bagi banyak nasabah baru. Pendaftarannya hanya memerlukan beberapa menit—biayanya tipis, dan transfernya langsung selesai. Bagi banyak generasi muda, rekening digital ini menjadi pengalaman pertama menapaki sistem keuangan formal. Kemudahan itu mendorong kepemilikan rekening resmi melesat melewati 85 % populasi dewasa, naik tajam dari sekitar 60 % sepuluh tahun lalu.

Kemudahan terbaru ini memunculkan rutinitas baru. Para pekerja muda berpindah-pindah antar aplikasi setiap hari. Seorang desainer lepas dapat menerima pembayaran lewat DANA, menutup sewa via GoPay, kemudian mengalirkan sisa dana ke bank digital untuk disimpan. Uang beredar begitu cepat, sehingga garis tipis antara menabung dan menghabiskan dana menjadi semakin samar. Namun, literasi keuangan belum selalu mampu mengimbangi kecepatan inovasi. Video-video viral di TikTok atau grup Telegram kerap menggabungkan unsur edukatif dengan janji keuntungan instan. Bank Indonesia dan OJK berulang-ulang menegaskan kepada publik untuk lebih berhati-hati terhadap aplikasi investasi yang belum berizin.

Para investor masih menaruh harapan besar. Hingga pertengahan 2025, fintech berlisensi berhasil mengumpulkan dana baru lebih dari USD 4,5 miliar, dengan porsi mayoritas datang dari venture capital di Asia Tenggara. Menurut para analis, kombinasi demografi yang muda, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan jaringan konektivitas yang luas menjadikan Indonesia kandidat kuat untuk menjadi pusat fintech regional. Namun, mereka memperingatkan bahwa kepercayaan publik mudah goyah. Upaya perlindungan data, pencegahan penipuan, dan edukasi pengguna harus bergerak secepat laju inovasi itu sendiri.

Bagi kebanyakan orang, keuangan digital kini terasa begitu biasa. Antrian di ATM pun semakin jarang ditemui. Cukup men-scan, mengetuk, atau mentransfer, semuanya selesai dalam hitungan detik. Survei nasional mengungkap bahwa sekitar tujuh dari sepuluh orang dewasa sudah nyaman mengelola uang sepenuhnya secara digital. Apa yang dulu dianggap hal baru kini telah menjadi bagian integral dari infrastruktur.

Mendekati penghujung 2025, Indonesia berada di persimpangan yang tenang sekaligus penuh kewaspadaan. Uang digital memang menyederhanakan kehidupan dan memperluas inklusi, namun di balik kemudahan itu muncul tanggung jawab baru. Tantangan kini tak lagi sekadar soal cara pakai, melainkan soal pemahaman—bagaimana menuntun jutaan pengguna pemula agar dapat melindungi data pribadi, mengidentifikasi penipuan, dan mengelola risiko. Kemajuan bangsa tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kebijaksanaan masyarakat dalam memanfaatkannya. ***

Baca Juga: Anak Menteri Keuangan Blak-blakan: Purbaya Ternyata Tak Setuju dengan Redenominasi Rupiah

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI