Penjelasan di Balik Polemik Pelepasan 1,6 Juta Hektare Kawasan Hutan Era Zulhas

Achmad Fauzi Suara.Com
Minggu, 07 Desember 2025 | 10:54 WIB
Penjelasan di Balik Polemik Pelepasan 1,6 Juta Hektare Kawasan Hutan Era Zulhas
Jual beli tanah kawasan hutan lindung di Riau. [Dok Polda Riau]
Baca 10 detik
  • Pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare pada masa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tahun 2014 bertujuan penataan ruang provinsi.
  • Keputusan tersebut didasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 673/2014 untuk mengakomodasi pemekaran wilayah dan usulan daerah.
  • Alokasi lahan hasil perubahan peruntukan itu ditujukan bagi pemukiman, fasilitas publik, dan lahan garapan masyarakat.

Suara.com - Polemik terkait pelepasan kawasan hutan seluas 1,6 juta hektare yang terjadi pada masa Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (Zulhas) kembali mencuat.

Namun berdasarkan dokumen resmi, kebijakan tersebut diklaim berkaitan dengan penataan ruang provinsi, bukan pemberian izin konsesi sawit kepada korporasi.

Informasi itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014 yang ditandatangani Zulkifli Hasan pada 2014.

Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa perubahan yang dilakukan merupakan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. [Suara.com/Achmad Fauzi].
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. [Suara.com/Achmad Fauzi].

Eks Sekjen Kementerian Kehutanan era Zulkifli Hasan, Hadi Daryanto, mengatakan kebijakan itu tidak berkaitan dengan pemberian izin perkebunan.

"Ya betul tidak berkaitan dengan izin kebun sawit hanya untuk tata ruang provinsi. Menhut menerbitkan SK 673/2014 seluas 1.638.294 Ha sebagai kawasan non hutan dalam rangka Tata Ruang Provinsi akibat pemekaran kota/kabupaten," ujarnya seperti dikutip, Minggu (7/12/2025).

Ia menjelaskan bahwa langkah tersebut juga merupakan respons pemerintah pusat terhadap usulan resmi dari pemerintah daerah, mulai dari gubernur hingga bupati dan walikota.

Aspirasi masyarakat turut menjadi bagian dari pertimbangan, terutama terkait kebutuhan akan kepastian ruang untuk pembangunan kawasan pemukiman dan fasilitas publik.

Rincian peta dalam lampiran SK juga menunjukkan bahwa area yang dilepaskan status kehutanannya dialokasikan untuk tiga kebutuhan utama, pemukiman penduduk, fasilitas sosial dan umum, serta lahan garapan masyarakat.

Baca Juga: Zulhas Wajibkan Bahan MBG dari Usaha Rakyat hingga Percepat SPPG di Daerah 3T

Untuk pemukiman, kebijakan itu mencakup kawasan desa, kecamatan, dan wilayah perkotaan yang telah mengalami kepadatan penduduk.

Sementara untuk fasilitas sosial dan umum, area tersebut meliputi infrastruktur seperti jalan provinsi dan kabupaten, sekolah, rumah ibadah, serta rumah sakit yang sebelumnya berdiri di atas kawasan berstatus hutan.

Adapun lahan garapan masyarakat meliputi area pertanian dan perkebunan rakyat yang telah dikelola turun-temurun.

Hadi juga merinci bahwa revisi tata ruang tersebut berkaitan dengan terbitnya UU 27/1992. Dalam prosesnya, Tim Terpadu (TIMDU) merekomendasikan perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas lebih dari 2,7 juta hektare. Namun keputusan final lebih kecil dari rekomendasi tersebut.

"Namun berdasarkan management authority Menhut hanya menetapkan seluas 1.6 jt Ha untuk Tata Ruang Provinsi, (bukan untuk korporasi, mengingat pemekaran kota/kabupaten, infrastruktur)," imbuhnya.

Menurut Hadi, keputusan itu bertujuan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Tanpa revisi tata ruang, warga yang tinggal di area tersebut secara teknis dianggap menempati kawasan hutan secara ilegal.

"Dan sekali lagi ini lebih kecil daripada usulan TIMDU atau jauh lebih kecil daripada PERDA Riau," pungkasnya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI