Suara.com - Perilaku rasisme ternyata masih menjadi penyakit yang sulit dihilangkan di sepak bola Indonesia. Baru-baru ini dua pemain Malut United yaitu Yance Sayuri dan Yakob Sayuri menjadi korban perbuatan tak terpuji itu.
Kejadian tersebut saat Malut United menjamu Persib Bandung pada 2 Mei lalu. PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi menyampaikan keprihatinan mendalam dan kecaman keras terhadap tindakan rasisme yang menimpa Yance dan Yakob Sayuri.
Insiden ini terjadi di tengah euforia kemenangan Malut United atas tim papan atas Persib Bandung. Kebanggaan tersebut ternodai oleh tindakan rasis yang diarahkan kepada Yance dan Yakob.
Yance dan Yakob mendapat perlakuan rasis di sosial media dengan mengeluarkan kata-kata tidak pantas. Parahnya lagi sampai menyasar ke keluarga mereka.

LIB mengutuk keras pelaku. Selain membuat cedera semangat sportivitas, menurut mereka sudah menjadi kriminal.
“Kami mengutuk keras segala bentuk rasisme di dunia sepak bola. Tindakan ini tidak hanya menyakiti individu, tetapi juga mencederai semangat sportivitas dan persatuan yang menjadi fondasi kompetisi,” kata Direktur Utama LIB, Ferry Paulus dalam keterangan resminya.
LIB menyatakan siap bekerja sama dengan Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), klub, dan otoritas hukum untuk memastikan pelaku tindakan rasisme ditindak tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
LIB mendorong penyelidikan terhadap akun-akun yang terlibat dalam ujaran rasis. LIB juga akan mengkaji penguatan regulasi anti-diskriminasi di kompetisi Liga 1 dan Liga 2, serta menyelenggarakan kampanye edukasi bersama klub dan komunitas suporter.
LIB mengajak seluruh elemen sepak bola baik klub, pemain, ofisial, dan suporter untuk bersama-sama menjaga atmosfer pertandingan yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi.
Baca Juga: Siapa Yuran Fernandes? Pemain PSM Makassar yang Rendahkan Liga Indonesia
Insiden ini harus menjadi pelajaran penting bagi kita semua agar sepak bola Indonesia benar-benar menjadi alat pemersatu bangsa. Ferry berharap kejadian serupa tidak terulang kembali.
“Sepak bola adalah ruang inklusif, tempat perbedaan dirayakan. Rasisme tidak boleh mendapat tempat, baik di stadion maupun di ruang digital. Kami akan memperketat pengawasan dan terus mendorong edukasi bagi suporter serta semua pihak yang terlibat,” tutupnya.
Insiden rasisme yang menimpa Yance dan Yakob Sayuri menjadi cerminan bahwa persoalan diskriminasi masih mengakar di lingkungan sepak bola nasional.
Meski berbagai kampanye dan regulasi telah digalakkan, nyatanya ruang digital masih menjadi tempat subur bagi ujaran kebencian yang menyasar pemain berdasarkan identitas ras dan etnis.

Perilaku semacam ini tidak hanya mencoreng semangat kompetisi, tetapi juga menunjukkan bahwa edukasi dan pengawasan belum berjalan optimal.
Dalam kasus ini, target pelecehan bahkan meluas hingga ke ranah pribadi, menyeret keluarga pemain ke dalam pusaran serangan yang tidak berperikemanusiaan.