Suara.com - Langkah strategis kembali dilakukan oleh PSSI dalam mendorong kemajuan sepak bola nasional. Kali ini, federasi menunjuk sosok berpengalaman asal Belanda, Simon Tahamata, sebagai kepala pemandu bakat Timnas Indonesia.
Pria yang memiliki darah Maluku ini datang dengan satu misi besar: mengangkat potensi muda Indonesia agar bersaing di panggung dunia.
Penunjukan resmi Simon dilakukan pada 22 Mei lalu.

Dalam kurun waktu kurang dari dua pekan setelahnya, ia langsung terlihat di lapangan, menghadiri sesi latihan timnas Indonesia di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta.
Momentum itu juga menjadi pertemuan pertamanya dengan awak media di Indonesia sejak menerima amanah barunya.
Meski sudah berusia 69 tahun, semangat Simon membara untuk mendorong revolusi sistem pencarian bakat di tanah air.
Simon Tahamata mengungkapkan bahwa kehadirannya bukan semata karena karier, namun lebih pada dorongan hati untuk membantu sepak bola Indonesia tumbuh dan bersinar.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar melalui generasi muda yang hanya butuh sistem pembinaan yang tepat dan berkelanjutan.
"Saya di sini karena kami punya talenta. Saya bisa kembali di Ajax, tetapi mau pulang kembali di sini. Menolong Patrick dan teman-teman di sini, jadi kami ada di sini untuk menolong Indonesia dan juga untuk anak-anak muda," kata Simon Tahamata dikutip dari Antara, Selasa (3/6/2025).
Baca Juga: Hitung-hitungan Stefano Lilipaly Starter Timnas Indonesia vs China

Simon Tahamata sebelumnya telah meniti karier panjang di dunia kepelatihan, termasuk 10 tahun di akademi sepak bola ternama milik Ajax Amsterdam.
Pengalamannya dalam mengelola pemain usia dini menjadi aset berharga bagi Indonesia yang saat ini sedang membangun fondasi kuat untuk menyambut agenda besar Piala Dunia 2026 dan jangka panjang ke depan.
Dalam sistem pembinaan bakat, Simon membawa pendekatan berbeda dari yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Simon Tahamata menyoroti bahwa pembinaan usia dini di Belanda dimulai sejak anak-anak berusia delapan tahun.
Sementara di Indonesia, kebanyakan akademi baru serius mendidik saat pemain sudah berusia 13 hingga 15 tahun. Menurutnya, pendekatan itu terlalu lambat dan dapat menghambat pertumbuhan kualitas pemain.
Sebagai kepala pemandu bakat, Simon memiliki tugas untuk mengidentifikasi pemain potensial, baik dari dalam negeri maupun dari diaspora Indonesia, terutama yang menetap di Belanda.