Suara.com - Ketua Umum PSSI Erick Thohir seperti ketar-ketir melihat Vietnam kemungkinan besar bakal genjar mendatangkan pemain keturunan buat memperkuat tim nasional.
Ini setelah pemerintah Vietnam disebut menyetujui perubahan undang-undang kewarganegaraan yang mulai berlaku 1 Juli 2025.
Situasi tersebut sangat menguntungkan bagi Vietnam karena mereka bisa dengan mudah merekrut pemain-pemain keturunan berbakar dari segala penjuru dunia.

Ini karena pemerintah telah mempermudah syarat untuk menjadi warga negara Vietnam melalui jalur naturalisasi.
Mereka tidak perlu lagi untuk tinggal di Vietnam dan bisa menguasai bahasa resmi negara untuk memperoleh paspor Vietnam.
Calon warga negara juga masih berhak mempertahankan kewarganegaraan lamanya untuk menarik perhatian para diaspora Vietnam.
"Beberapa hari ini Vietnam melakukan terobosan luar biasa, Diumumkan kemarin mengenai bagaimana Vietnam akan menarik diaspora di seluruh dunia dengan segala kemudahannya dan sudah diumumkan mulai 1 Juli," kata Erick Thohir dilansir dari Kompas TV.
"Kita lihat penduduk Vietnam banyak sekali yang berada di Amerika, Australia, dan mancanegara, mereka mengungsi karena ada perang Vietnam saat itu, sekarang diaspora akan ditarik untuk membangun sepak bola mereka," jelasnya.

Kemungkinan tersebut tentu membuat PSSI was-was karena Vietnam bisa kembali menjadi ancaman serius untuk Timnas Indonesia.
Baca Juga: Pantes Ngotot Jadi Tuan Rumah Round 4, Qatar Punya Rekor Buruk di Laga Away
Seperti kita ketahui dalam beberapa waktu belakangan ini, Timnas Indonesia selalu bisa mendominasi Vietnam.
Timnas Indonesia harus terus ditingkatkan kemampuannya jika tidak mau kembali dilewati oleh Vietnam.
"Kalau kita PSSI dan bangsa kita berpuas diri, pemerintah berpuas diri, saya rasa kita akan tersusul lagi di sepak bola putra dan di putri masih kalah," katanya menambahkan.
"Kita harus melakukan keseriusan untuk program jangka pendek dan panjang," pungkas lelaki yang juga menteri BUMN tersebut.
PSSI pun kini dituntut untuk tidak hanya menjaga momentum prestasi yang sudah dicapai, tetapi juga mengambil langkah strategis agar tidak tertinggal dalam persaingan regional.
Situasi ini menjadi sinyal bahwa Indonesia harus lebih serius dalam memperkuat sistem pembinaan usia dini, membuka akses lebih luas bagi pemain keturunan, serta mengembangkan kompetisi domestik yang sehat dan berjenjang.
Vietnam yang kini agresif dengan kebijakan naturalisasi berbasis diaspora, memberikan tekanan tambahan bagi negara-negara pesaing di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Mereka bisa saja mendatangkan pemain-pemain dengan kualitas Eropa atau Amerika, namun berakar Vietnam, yang dapat mengangkat performa tim nasional mereka dalam waktu singkat.
Sementara itu, Indonesia sebenarnya memiliki potensi diaspora yang tak kalah besar.
Banyak warga keturunan Indonesia yang tumbuh dan berkembang di luar negeri, terutama di Belanda, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya.
Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya tergarap secara sistematis dan berkelanjutan.
Selain pembinaan dan pencarian bakat, tantangan lain yang perlu dihadapi adalah infrastruktur dan kualitas kompetisi di level nasional.
Liga yang stabil dan profesional menjadi fondasi penting agar pemain lokal bisa berkembang optimal.
Jika hal-hal mendasar ini tidak segera dibenahi, Indonesia berisiko kembali tertinggal, terutama jika negara-negara pesaing terus bergerak cepat dengan strategi baru seperti yang dilakukan Vietnam.
Dengan kondisi seperti ini, langkah antisipatif dan kebijakan jangka panjang menjadi mutlak.
PSSI harus mampu menyusun roadmap pengembangan sepak bola nasional yang tidak hanya berfokus pada hasil jangka pendek, tetapi juga memastikan keberlanjutan program hingga generasi mendatang.
Lebih jauh lagi, tantangan yang dihadapi Indonesia bukan hanya datang dari Vietnam, tetapi juga dari negara-negara ASEAN lain yang mulai menunjukkan geliat kebangkitan sepak bola mereka.
Thailand, Malaysia, dan bahkan Filipina juga telah membuka pintu bagi pemain keturunan dan diaspora, serta mulai membenahi sistem kompetisi domestik.
Persaingan di kawasan ini akan semakin ketat dan menuntut Indonesia untuk tidak hanya bereaksi, tetapi juga proaktif dalam menciptakan keunggulan jangka panjang.