Sementara itu, program Spotlight juga menampilkan beberapa narasumber yang memperkuat narasi bahwa Jessica Wongso menjadi korban ketidakadilan dalam sistem hukum Indonesia.
Salah satunya adalah Profesor Simon Butt dari Universitas Sydney yang menyatakan bahwa Jessica tidak mendapatkan asas praduga tak bersalah dalam proses pengadilannya.
"Dalam media dan pengadilan, Jessica digambarkan sebagai sosok jahat dan gila. Padahal, bukti terhadap dirinya bersifat tidak langsung dan sangat lemah," ujar Simon Butt.
Pendapat serupa disampaikan oleh Tim Lindsey dari Centre for Indonesian Law, Islam and Society.
Lindsey menyatakan bahwa meskipun Jessica berupaya meninjau kembali putusan pengadilan, peluang keberhasilannya sangat kecil kecuali ditemukan bukti baru yang kuat.
Dia juga menyoroti adanya kekurangan dalam proses penuntutan dan penyelidikan yang dahulu dijalankan.

Namun, opini dari para ahli hukum ini tidak cukup untuk mengubah persepsi banyak orang, terutama mereka yang mengikuti proses persidangan Jessica secara langsung.
Beberapa netizen yang menyaksikan proses hukum sejak awal mengaku tidak bisa menerima narasi pembelaan Jessica, apalagi setelah munculnya dokumenter Ice Cold di Netflix yang dianggap terlalu membela terdakwa.
"Saya nonton sidangnya dari awal sampai akhir. Jawaban Jessica selalu 'lupa' atau 'tidak ingat.' Rekonstruksinya berbeda jauh dari CCTV dan keterangan saksi. Sekarang dia bebas dan muncul di TV? Ini benar-benar melecehkan keadilan,” tulis seorang netizen di X.
Baca Juga: Pernah Diisukan Penyuka Sejenis, Jessica Wongso Ngaku Banyak Cowok Mendekatinya Usai Bebas
Kritik lainnya juga menyasar pada sistem hukum yang memungkinkan pelaku pembunuhan berencana memperoleh pembebasan bersyarat, kemudian tampil seolah korban di media internasional.
Jessica sendiri mengaku tidak bisa membahas secara detail soal kasusnya karena masih terikat aturan pembebasan bersyarat dan proses hukum yang belum sepenuhnya selesai.
Meski demikian, kehadirannya di media asing dinilai oleh banyak pihak sebagai langkah kontroversial.
Kontributor : Chusnul Chotimah