Suara.com - Konser Hindia, atau Baskara Putra, dalam ajang festival Ruang Bermusik di Lanud Wiriadinata, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 19 sampai 20 Juli 2025, batal, karena ditolak ormas Islam. Hindia disebut penyembah setan alias satanic.
Tuduhan bahwa Hindia atau Baskara Putra sebagai penyembah setan dan mempromosikan ateisme dalam konser sebenarnya cerita lama.
Baskara sendiri, dalam siniar Kemal Palevi 18 Maret 2024, sebenarnya sudah membahas dan menjawab tuduhan tersebut.
Tuduhan ini, yang seringkali viral di media sosial, mengaitkan aksi panggung Hindia dengan simbol-simbol Dajjal, Freemason, dan lirik lagu yang dianggap sesat.
Dalam video yang diakses Suara,.com, Selasa (15/7/2025), Baskara memberikan klarifikasi mendalam mengenai konsep artistik di balik pertunjukannya yang kerap memicu spekulasi liar.
Ia tak menampik bahwa sejak awal, ia sadar akan adanya risiko interpretasi negatif dari publik.
Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa spekulasi tersebut akan dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak oleh sebagian kalangan.
Menanggapi berbagai tudingan yang berkembang, Baskara secara terbuka menjelaskan sudut pandangnya sebagai seorang seniman.
Sadar Akan Risiko Spekulasi Sejak Awal
Baca Juga: 5 Fakta Hindia Dituduh Penyembah Setan, Konser di Tasikmalaya Batal
Kemal dalam video itu secara langsung menanyakan apakah Baskara sudah memprediksi bahwa elemen-elemen dalam konsernya, seperti lagu Matahari Tenggelam dan interaksi panggung seperti meminta penonton menutup mata, akan mengarah pada tuduhan satanisme.
Baskara dengan tegas mengiyakan.
Ia sadar bahwa konsep yang ia tawarkan akan memancing spekulasi.
"Gua dari awal bikin itu, gua tahu ada risikonya gitu, orang bakal spekulasi gitu," ungkapnya.
Menurutnya, semua elemen tersebut memang sengaja dirancang untuk membangun sebuah narasi pertunjukan.
Namun, ia melihatnya sebatas pemicu diskusi dan interpretasi, bukan sebuah ajaran yang harus diterima secara harfiah.
Ia menambahkan bahwa spekulasi yang muncul seharusnya berhenti pada level perbincangan atau analisis karya.
"Cuma di level di mana, ya udah spekulasi aja, terus yang kayak 'oh referensinya dari sini', gitu," lanjut Baskara.
Kaget Konsep Panggungnya Dianggap Serius
Puncak dari klarifikasi Baskara adalah ketika ia mengungkapkan keterkejutannya bahwa konsep panggung yang ia anggap sebagai sebuah pertunjukan seni, justru diterima secara serius sebagai ritual atau ajaran sesat oleh sebagian masyarakat.
Baginya, semua itu adalah bagian dari sebuah kesenian pertunjukan yang memiliki referensi dan makna tersendiri.
"Gua gak expect dianggap serius, sebenarnya," aku Baskara dengan lugas. Ia memandang seluruh aksi panggungnya sebagai sebuah bentuk ekspresi artistik. "Karena buat gua itu kesenian, pertunjukan, gitu," tegasnya.
Baskara memahami bahwa setiap orang, terutama penonton, berhak memiliki pandangan yang berbeda terhadap karyanya.
Ia menghargai adanya perbedaan interpretasi, namun ia menyayangkan jika interpretasi tersebut berujung pada tuduhan serius yang menyerang keyakinan pribadinya dan mengancam keberlangsungan karier musiknya.
"Ini buat gua pribadi ya, pandangan gua pribadi gitu. Mungkin berbeda pandangan sama yang nonton dan yang gak apa-apa juga, gitu," tuturnya, menunjukkan keterbukaan terhadap berbagai perspektif.
Fenomena 'Cocoklogi' dan Interpretasi Liar
Pernyataan Baskara ini seolah menjadi jawaban atas fenomena "cocoklogi" yang masif terjadi di media sosial, di mana setiap gerak-gerik, simbol, dan liriknya dicocok-cocokkan dengan teori konspirasi dan ajaran satanisme.
Dari patung yang ada di panggung hingga instruksi kepada penonton, semuanya menjadi bahan untuk spekulasi.
Bagi para penggemarnya, konsep pertunjukan Hindia seringkali dinilai sebagai sebuah performa teatrikal yang sarat kritik sosial dan refleksi personal.
Lagu "Matahari Tenggelam", misalnya, lebih banyak diartikan sebagai bentuk kemarahan dan sarkasme terhadap realitas sosial.
Namun, di tangan audiens yang berbeda, lirik tersebut menjadi bukti sahih adanya niat buruk.
Klarifikasi Baskara ini menjadi penting untuk menjembatani jurang interpretasi antara sang seniman dan sebagian audiensnya, menegaskan bahwa apa yang tersaji di panggung adalah sebuah karya seni yang terbuka untuk berbagai makna, bukan sebuah dakwah terselubung.