Ifan Seventeen Tegaskan Film Merah Putih Bukan Produksi PFN, Tak Pakai Uang Negara!

Yohanes Endra Suara.Com
Rabu, 13 Agustus 2025 | 20:45 WIB
Ifan Seventeen Tegaskan Film Merah Putih Bukan Produksi PFN, Tak Pakai Uang Negara!
Ifan Seventeen Tegaskan Film Merah Putih Bukan Produksi PFN (instagram)

Suara.com - Ifan Seventeen selaku Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN) memberikan penjelasan panjang lebar terkait kontroversi film animasi Merah Putih: One for All.

Film ini tengah menjadi sorotan karena disebut memiliki anggaran fantastis dan dikaitkan dengan penggunaan dana pemerintah.

Ifan menegaskan bahwa film tersebut sepenuhnya dimiliki dan diproduksi oleh pihak swasta.

"Film Merah Putih: One for All itu film yang dimiliki dan diproduksi oleh teman-teman yang ada di PH swasta, dan kewenangan saya itu tidak sampai sebagai Bapak Industri Perfilman Indonesia," ujar Ifan.

Dia menambahkan bahwa kewenangannya hanya sebatas sebagai Direktur Utama dari PFN, bukan pihak yang mengatur seluruh produksi film di Indonesia.

Pemilik nama asli Riefian Fajarsyah itu menegaskan bahwa PFN tidak memproduksi semua film di Indonesia, dan Merah Putih: One for All bukan bagian dari portofolio mereka.

Dia juga menekankan bahwa tidak ada dana negara yang digunakan dalam produksi film tersebut.

Ifan lantas menjelaskan bahwa proses kelolosan sebuah film untuk tayang di layar lebar berada di bawah kewenangan Lembaga Sensor Film (LSF).

Film Animasi Merah Putih: One For All (YouTube/CGV Kreasi)
Film Animasi Merah Putih: One For All (YouTube/CGV Kreasi)

Menurutnya, LSF memiliki kriteria khusus yang mengatur kelayakan sebuah film, tetapi tidak menilai kualitas teknisnya.

Baca Juga: Perjuangan Tembus Bioskop, Film 'Merah Putih One For All' Sempat Ditolak dan Minta Revisi oleh XXI

"Contoh, film itu tidak boleh ada isu SARA, ada pornografi, kekerasan, dan lain-lain. Tapi bukan mengkurasi kualitas dari produknya," jelas Ifan.

Dia menegaskan bahwa penayangan sebuah film di bioskop merupakan hak prerogatif pihak swasta.

"Bioskop ini adalah perusahaan swasta, maka hak prerogatif dari bioskop untuk memberikan tayangan di tempat mereka," kata Ifan.

Terkait kualitas, Ifan mengakui bahwa film ini memang jauh dari kata maksimal dalam hal produksi.

Namun, dia menilai bahwa proses kreatif seperti ini adalah bagian dari perjalanan belajar di industri animasi Indonesia.

"Bukankah kualitas produksi adalah bagian dari proses pembelajaran? Dan perlu diingat, film ini tidak menggunakan dan atau anggaran dari pemerintah sedikitpun dan ini juga bukan filmnya PFN," tegasnya.

Ifan kemudian mengajak masyarakat untuk menantikan film animasi produksi PFN yang berjudul Pelangi di Mars yang rencananya tayang pada 2026.

Film Merah Putih: One for All sendiri diproduksi oleh rumah produksi Perfiki Kreasindo.

Film ini disutradarai oleh Endiarto dan Bintang Takari, dengan produser Toto Soegriwo serta produser eksekutif Sonny Pudjisasono.

Mengusung tema persatuan, persahabatan, dan nasionalisme, cerita film ini berpusat pada delapan anak dari berbagai daerah di Indonesia yang terpilih menjadi Tim Merah Putih.

Mereka berasal dari latar belakang budaya yang beragam, seperti Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan Tionghoa.

Tugas mereka adalah menjaga bendera pusaka yang akan dikibarkan pada upacara peringatan 17 Agustus.

Namun, tiga hari sebelum perayaan, bendera tersebut hilang secara misterius.

Anak-anak ini kemudian bekerja sama, mengesampingkan perbedaan, dan berpetualang melewati hutan serta sungai untuk menemukan kembali bendera tersebut.

Film berdurasi 70 menit ini mendapatkan klasifikasi untuk semua umur dan dijadwalkan tayang di bioskop mulai 14 Agustus 2025.

Kontroversi semakin memanas setelah muncul kabar bahwa biaya produksi mencapai Rp6,7 miliar.

Produser Toto Soegriwo mengklaim angka tersebut, sedangkan sutradara Endiarto membantah dan mengatakan bahwa dana berasal dari kantong pribadi.

Film ini juga menjadi sorotan karena proses produksinya dikabarkan sangat singkat, bahkan kurang dari satu bulan.

Banyak warganet yang mengkritik kualitas visual dan teknisnya, menilai hasilnya masih di bawah standar industri animasi saat ini.

Sebagian pengamat menduga penggunaan aset siap pakai, sementara respons produser di media sosial dinilai memperkeruh suasana.

Kontributor : Chusnul Chotimah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI