Suara.com - Saya menonton The Great Flood dengan ekspektasi yang cukup sederhana, sebuah film bencana ala Korea Selatan yang menegangkan, emosional, dan penuh visual spektakuler.
Setidaknya itu yang dijanjikan dari paruh awal film. Namun, seperti air bah yang datang tanpa aba-aba, film ini justru berubah arah secara drastis di tengah jalan.
Ambisi besarnya patut diapresiasi, tapi eksekusinya membuat saya berkali-kali mengernyitkan dahi, bingung, ini sebenarnya mau ke mana?
Seperti proyek ambisius lain dengan embel-embel sci-fi, Korea Selatan sekali lagi gagal memenuhi ekspektasi saya, dan mungkin sebagian besar penonton.
Awal Mencekam yang Sangat Menjanjikan

Rasanya empat puluh menit pertama The Great Flood adalah bagian terbaik film ini.
Saya tidak ragu mengatakan bahwa tensi yang dibangun terasa nyata dan menyesakkan.
Anna (Kim Da Mi) berusaha menyelamatkan diri bersama putranya yang masih kecil, Ja In, ketika dunia perlahan tenggelam akibat komet yang jatuh di Australia.
Premisnya memang terdengar berlebihan, tapi penyajiannya justru terasa intim karena berfokus pada satu kompleks apartemen.
Baca Juga: Review Film Suka Duka Tawa: Angkat Topi untuk Transformasi Teuku Rifnu Wikana
Air yang terus naik bukan sekadar latar bencana, melainkan ancaman konstan yang seolah bernapas di belakang leher penonton.
Saya menyukai bagaimana film ini menyelipkan potongan-potongan kecil tentang kemanusiaan.
Ada pasangan lansia yang pasrah menunggu ajal, dua pria yang menjarah rumah kosong, hingga seorang ibu yang hendak melahirkan di tengah kekacauan.
Semua itu membuat dunia The Great Flood terasa hidup, rapuh, sekaligus menyedihkan.
Akting Kuat dengan Visual yang Tak Main-Main

Kim Da Mi tampil solid sebagai Anna, seorang ilmuwan AI yang mendadak harus menjadi ibu pejuang di tengah kiamat.