Suara.com - Minimnya pendidikan seks serta tidak tersedianya kontrasepsi bagi remaja dinilai menjadi salah satu alasan tingginya kasus aborsi di Indonesia. Monique Soesman, perwakilan Rutgers WPF Indonesia mengatakan bahwa umumnya remaja usia 15-24 tahun merupakan pelaku seksual aktif kendati belum menikah.
Sayangnya pemerintah hanya menetapkan kebijakan di mana hanya pasangan yang sudah menikah yang boleh mendapatkan layanan kesehatan reproduksi.
"Mereka nekat melakukan aborsi ilegal karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Padahal sejatinya hal ini bisa dicegah dengan sosialisasi kesehatan reproduksi dan pemberian akses kontrasepsi kepada remaja," kata Monique pada temu media di Jakarta, Kamis (5/11/2015).
Monique memaparkan, ada 2,3 juta kasus aborsi yang dilakukan oleh remaja di Indonesia tiap tahunnya.
Monique menyadari bahwa wacana pemberian layanan kesehatan reproduksi dan penyediaan akses terhadap kontrasepsi bagi remaja berpotensi mengundang kontra di kalangan masyarakat tertentu. Namun menurutnya hal ini merupakan langkah yang efektif dalam menekan kasus aborsi dan kehamilan tidak diinginkan.
"Kita dorong untuk penyediaan akses kontrasepsi untuk remaja. Angka aborsi dan kematian ibu bisa dicegah jika kontrasepsi remaja didukung pemerintah," imbuhnya.
Kebijakan yang berpihak pada kelompok remaja ini, menurut Monique, merupakan investasi bagi negara karena remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan belum siap membangun rumah tangga dan meningkatkan kemiskinan.
"Selama ini kebijakan tidak pernah melirik golongan remaja. Padahal remaja nantinya akan tumbuh menjadi generasi bangsa. Untuk itu kita dorong agar pemerintah lebih aware dengan hal ini," pungkasnya.
Perlukah Akses Kontrasepsi Untuk Remaja?
Kamis, 05 November 2015 | 18:01 WIB

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
6 Rekomendasi Skincare Terbaik untuk Anak 10 Tahun, Aman dan Bebas Iritasi
04 Juni 2025 | 17:40 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI