Kisah Penyintas Kanker: Pulang Kemoterapi Bisa Langsung Jalan-Jalan

Vania Rossa Suara.Com
Selasa, 24 Desember 2019 | 10:33 WIB
Kisah Penyintas Kanker: Pulang Kemoterapi Bisa Langsung Jalan-Jalan
Marchadi, Penyintas Kanker Paru. (Dok. Pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Uhuk.. Batuk kecil terlepas dari mulutnya.

Uhuk.. Batuk lagi, sesekali.

Marchadi, atau biasa disapa Hadi, tak pernah mengalami batuk berkepanjangan. Batuknya lebih menyerupai dehem untuk membersihkan tenggorokan.

Batuk kecil yang bermula pada Agustus 2014 itu tak kunjung berhenti hingga tiga bulan kemudian. Akhirnya ia ke dokter, tapi bukan karena batuk, melainkan karena demam.

Batuk deheman itu nyatanya awal dari perjalanan kanker paru stadium 4-nya. Total hingga hari ini, 5 tahun sudah ia melakukan pengobatan kanker paru, Berbagai pengobatan kanker sudah dijalaninya, mulai dari kemoterapi, operasi, obat, hingga radioterapi.

Melihat fisiknya, lelaki berusia 59 tahun itu tak tampak seperti penyintas kanker. Tubuh kecilnya lincah, cara bicaranya bersemangat, dan kulitnya pun tak menampakkan kerut yang berlebihan penanda penuaan.

"Tuhan memang Maha Adil. DiberiNya saya penyakit ini (kanker), tapi Dia beri juga saya kekuatan untuk menjalani pengobatannya," kata Hadi.

Ya, selama 5 tahun perjalanan pengobatan kanker yang dilaluinya, tubuhnya hampir tak pernah mengalami reaksi negatif. Kemoterapi yang bagi sebagian orang identik dengan deretan efek samping menyeramkan, seperti rambut rontok, tubuh panas, anemia, mual, dan muntah, Hadi tidak mengalami semua itu. Ia bahkan bisa langsung jalan-jalan ke mal sampai sore sepulang kemoterapi, meski sebenarnya itu sangatlah tidak disarankan untuk dilakukan.

CT Scan Dua Hari Berturut-Turut

Baca Juga: Tumbuh Benjolan di Pergelangan Kaki Wanita Ini, Ternyata Kanker Paru-Paru

Setelah berbulan-bulan batuk tak kunjung reda, gejala lain yang sedikit mengkhawatirkan mulai muncul. Yang pertama, Hadi tiba-tiba tidak bisa memindahkan kakinya. Dipikir kesemutan, ia gunakan tangan untuk membantu mengangkat kaki. Tak hanya sekali, tapi beberapa kali.

"Saya ke sinse, diurut. Mendingan, jadi enak. Kemudian saya juga bilang ke sinse, saya ada batuk. Kemudian dipijat untuk dilancarin paru-parunya. Lega untuk sementara," kisah Hadi saat ditemui Suara.com beberapa waktu lalu di Jakarta Barat.

Gejala berikutnya, Hadi yang biasanya segar bugar, tiba-tiba ngos-ngosan dan kepayahan saat naik tangga di ruko 4 lantai.

Dipikir kesehatan jantungnya bermasalah, Hadi memeriksakan diri ke dokter. Di-CT Scan tidak tampak ada penyumbatan. Tapi ketika dirontgen, terlihat ada sesuatu. Dokter pun meminta dia di-CT Scan lagi.

"Dokter sampai minta maaf karena saya dua hari berturut-turut harus CT Scan. Tapi tidak apa-apa, demi kepentingan pemeriksaan," katanya.

Hasilnya, positif banyak benjolan di paru-paru kiri belakang. Besarnya 8 cm. Meski begitu, dokter tidak berani bilang apa benjolan itu, sebelum ia melakukan PET Scan.

Karena dokter meminta cepat, Hadi berniat melakukan PET Scan di RS Dharmais. Tapi niatnya tertunda karena masukan kerabat dan teman. Hadi kemudian memutuskan melanjutkan pengobatan ke Negeri Jiran, Malaysia.

Sehari setelah keluar dari rumah sakit pasca CT Scan, Hadi dan istri langsung terbang ke Malaysia.
Di sana langsung dibiopsi setelah dokter melihat hasil CT Scan.

"Setelah biopsi, baru PET Scan. Hasil PET Scan itu, kelihatan benjolan sampai yang kecil-kecilnya. Saya positif cancer non small cell stadium 4, letaknya ada di paru-paru, ada di 7 titik," kata Hadi tanpa raut kesedihan sama sekali.

Memilih Kemoterapi

Dokter bertanya apakah ia kuat kalau nanti dikemoterapi. Kalau tidak kuat, dokter memberi alternatif untuk disinar. "Saya bilang, saya kuat," katanya tegas.

Siklus kemoterapi diberikan 6 kali dengan jarak waktu 3 minggu. Kemoterapi pertama, sang istri berinisiatif mengajak anaknya untuk membantu, karena banyak orang bilang kemoterapi itu efek sampingnya bisa payah, mulai dari pusing, mual, muntah, dan sebagainya.

"Habis kemoterapi, saya memang langsung balik hotel, jaga-jaga. Katanya juga takut kena infeksi kalau kena udara luar, karena kondisi tubuh biasanya drop setelah kemoterapi. Eh, nggak taunya saya nggak apa-apa. Saya nggak merasakan efek apa-apa, tidak lemas, tidak mual, tidak kebas," katanya dengan semangat.

Berkaca pada pengalaman kemoterapi pertama, pada kemoterapi kedua, ia pun memutuskan langsung naik taksi untuk jalan-jalan ke mal. "Padahal harusnya nggak boleh. Tapi saya bandel, karena merasa nggak apa-apa," katanya sambil tertawa.

Hadi mengaku, ia memang merasa bersemangat setiap kali akan berangkat ke Malaysia untuk kemoterapi. "Saya merasa, inilah obatnya, inilah penyembuh saya. Sementara banyak orang malah takut kalau mau dikemo," katanya.

Hadi yakin, perasaan positifnya, afirmasi yang ia lakukan setiap kali obat ditusuk masuk ke dalam tubuhnya lewat jarum infus, itu ada pengaruhnya. Menurutnya, jika orang lain belum-belum sudah melawan, menolak, takut pada efek sampingnya, tubuh malah akan merespons negatif. "Jadi, terima saja," katanya ikhlas.

Di kemoterapi keempat, ukuran kanker mengecil hingga 30 persen. Menurut dokter yang menanganinya, mungkin obat kemoterapinya cocok, sehingga dilanjutkanlah untuk kemoterapi kelima dan keenam.

"Eh, yang keenam, kankernya malah membesar lagi. Berarti obatnya sudah nggak cocok," kata Hadi.

Terdeteksi ALK Positif

Juli 2015, usai kemo terakhir yang ketahuan sel kanker membesar, pengobatan kanker Hadi terhenti sementara sambil menunggu obat yang cocok. Kondisinya memburuk. Ia mengalami batuk darah, yang menandakan ada kebocoran di paru-paru.

Ilustrasi kanker paru. [Shutterstock]
Ilustrasi kanker paru. [Shutterstock]

Dokter kemudian melakukan pemeriksaan EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor) pada sampel paru-parunya dari hasil biopsi pertama. EGFR ini adalah mutasi gen yang paling sering terjadi pada kanker paru. Hasilnya negatif.

Kemudian dilakukan lagi pemeriksaan ALK (Anaplastic Lymphoma Kinase). Hasilnya positif. Kanker paru ALK positif itu termasuk langka, jumlahnya hanya 5-6 persen. Saat itu, di Indonesia bahkan belum tersedia pemeriksaan ALK. Dan pengobatan kanker paru ALK positif, tidak bisa pakai BPJS. Yang bisa hanya kanker paru EGFR.

Setelah diketahui kenis kanker parunya, pengobatan kembali dilakukan. "Obat ALK pertama saya minum crizotinib. Mulai minum Agustus 2015, kemudian November 2015 di PET Scan, paru-paru saya bersih tidak ada kanker. Obat terus saya minum sampai 8 bulan. Eh, bulan kedelapan, muncul lagi kankernya, meski kecil 4,5 cm. Saya ganti minum ceritinib. Hilang lagi," kata Hadi.

Bagi penderita kanker, obat-obatan itu bukanlah tanpa efek samping. Apalagi jika diminum dalam jangka waktu lama. Melansir dari webmd, efek samping yang bisa ditimbulkan oleh ceritinib, misalnya, diare, mual, muntah, kehilangan nafsu makan, atau kelelahan. Tapi, itu tidak dialami Hadi. Bahkan, di tahun 2016, Hadi merasa sehat sehingga memutuskan untuk bersenang-senang di tahun itu. Ia pergi ke China, berbisnis dengan teman.

Masuk tahun 2017, ia mengalami demam. Ketika diperiksa, ada kanker muncul sebesar 4,5 cm. Tapi kata dokter waktu itu, kankernya bisa dioperasi. "Saya iyakan saja apa yang dokter bilang. Saya nggak mau sok pintar. Saya menyerahkan diri saja," kata Hadi.

Kanker Menjalar ke Otak

Usai operasi kanker di Februari 2017, kesehatan Hadi berangsur membaik. Dalam waktu cukup lama, tubuhnya bersih dari kanker.

Tapi, November 2017, Hadi merasa keleyengan ketika bangun tidur pagi hari. "Kebetulan itu menjelang pemeriksaan rutin. Jadi, saya biarkan dan tunggu jadwal ketemu dokter. Begitu ketemu dokter, langsung di PET Scan dan MRI. Ternyata ada banyak kanker di kepala," katanya soal penyebaran kankernya.

Ilustrasi CT Scan [Shutterstock]
Ilustrasi CT Scan [Shutterstock]

Meski sudah terbiasa dengan kehadiran kanker di tubuhnya, tak urung Hadi kaget juga dengan kanker di kepalanya itu. "Karena saya tahu, kanker di otak itu termasuk sulit ditangani. Dokter waktu itu juga sempat bilang, menurut statistik, kemungkinan hidup saya antara 6 bulan sampai 12 bulan," kenangnya.

Keluar dari ruang dokter, Hadi berpandangan dengan istri. Mereka berdua tertawa getir mendengar 'vonis' dokter.

Tindakah pengobatan segera diambil. Kali ini disinar sebanyak 5 kali. Selesai disinar, diperiksa, ukuran kanker mengecil.

Tepat setahun kemudian, kanker di kepala muncul lagi. Kebetulan, jadwal pemeriksaan hari itu bertepatan dengan ulang tahun perkawinan Hadi dan istri. "Saya dan istri sudah bikin rencana, nanti abis periksa mau makan di mana. Eh, dapat berita hasil pemeriksaan ada kanker di 3 titik di kepala, 2 cm. Dokter kembali bilang, kemungkinan hidup saya sekian-sekian," kata Hadi.

Kembali Hadi hanya tertawa berdua istri. Rencana makan-makan setelah pemeriksaan tetap lanjut. Setelah itu, ia langsung disinar lagi sebanyak 5 kali.

"Waktu itu dokter juga kasih saran saya suruh cairkan rekening bank. Saya nggak mau. Kalau saya mau, berarti saya siap mati. Saya belum mati, saya juga nggak tahu apakah saya akan mati atau nggak. Saya nggak mau termakan omongan dokter. Semua penyakit, gak hanya kanker, punya risiko untuk bikin mati," tuturnya bersemangat.

Penyintas kanker paru stadium 4 ini bukannya tak tahu kalau sangat kecil kemungkinan bagi orang dengan riwayat penyakit sepertinya untuk sembuh. "Saya pernah cari-cari info di Google, stadium 4 kemungkinan hidup survivor ada berapa persen, sih? Ternyata nggak ada referensinya," katanya sambil tertawa lepas.

Meski begitu, ia tetap percaya, bagi Tuhan, kalau Tuhan berkehendak, sembuh ya sembuh saja. "Tuhan nggak akan lihat stadiumnya," ujarnya yakin. Afirmasi positif dan berserah diri sambil tetap berusaha yang terbaik, sepertinya itulah kunci ia menikmati perjalanan penyakitnya selama 5 tahun ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI