Suara.com - Dalam rangka Memperingati World Mental Health Day 2021, WHO kembali menggalakkan perhatian untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu kesehatan mental di dunia. Hal ini disebabkan masalah kesehatan mental masih sering kali dikesampingkan.
Padahal, sama dengan kesehatan fisik, kesehatan mental juga membutuhkan perhatian yang layak.
Imbasnya, sering kali meskipun seseorang mengalami rasa tidak nyaman atau gangguan dalam kesehatan mentalnya, banyak yang menunda untuk mencari bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater.
Menurut Psikolog Klinis yang juga Co-Founder Social Connect, Falah Farras, setidaknya ada lima hal yang menjadi alasan mengapa masyarakat enggan mencari bantuan profesional. Berikut ulasannya.
Baca Juga: 4 Artis Bicara Kesehatan Mental di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia
1. Stigma dan Persepsi
Kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Sering kali ketika seseorang merasa butuh bantuan, mereka kerap dihadapkan dengan pandangan sinis yang terkesan mencibir.
Ada anggapan bahwa kesehatan jiwa yang terganggu disebabkan karena kurang beribadah, sehingga hatinya tidak dekat dengan Tuhan.
Selain itu, ada pula stigma buruk yang melekat di masyarakat. Orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental sering dianggap gila atau tidak waras. Stigma dan persepsi ini yang membuat kesehatan mental dianggap bukan sebagai sesuatu yang penting, sehingga dibiarkan berlarut-larut.
2. Kebiasaan untuk Menutup Masalah Rapat-rapat dari Pihak Luar
Masyarakat Indonesia terbiasa untuk menutup masalah rapat-rapat dari pihak luar. Ketika sebuah masalah datang, maka sebaiknya masalah itu diselesaikan tanpa melibatkan pihak ketiga.
Misalnya ketika seseorang merasa kesulitan, dia diharapkan untuk hanya bercerita pada pihak keluarga, teman, atau orang-orang yang dikenal dekat, bukan orang asing.
Baca Juga: 5 Artis Bicara Kesehatan Mental, Ada Ariel Tatum Hingga Rachel Vennya
Sayangnya, ketika orang tersebut tidak memiliki support system yang mendukung, maka ia akan merasa putus asa dan tidak mendapat jawaban. Belum lagi apabila orang-orang terdekatnya tidak memahami pentingnya kesehatan mental, ia justru akan menerima stigma sebagai orang yang lemah atau gila.
Imbasnya, ia akan merasa tidak memiliki tempat yang aman untuk bercerita atau meminta bantuan.
3. Kondisi yang Dihadapi Sulit untuk Diceritakan
Ada beberapa kondisi yang membuat seseorang sulit untuk menceritakan gangguan yang mereka hadapi atau terima.
Misalnya ketika mereka mengalami kekerasan atau pelecehan seksual. Muncul perasaan malu, tak berdaya, hingga tidak berharga.
Selain itu, kondisi ini juga mungkin terjadi di kasus-kasus yang bersifat struktural di dunia pekerjaan atau pendidikan yang sulit diceritakan jika tidak diwadahi dengan tepat. Belum lagi apabila masalah tersebut memiliki sangkut paut dengan orang-orang yang memiliki power tertentu.
4. Biaya yang Mahal
Masalah keuangan, terutama terkait biaya konsultasi dan pengobatan yang terkait kesehatan mental biasanya mahal.
Terlebih umumnya, asuransi kantor maupun pribadi tidak menanggung biaya konsultasi atau pengobatan kesehatan mental. Untungnya, bagi pemegang BPJS Kesehatan, kesehatan mental sudah masuk ke dalam salah satu penyakit yang ditanggung.
Untuk bisa menikmati fasilitas dari BPJS tersebut, pengguna harus mendatangi faskes tempat pengguna terdaftar lalu meminta surat rujukan. Alternatif lainnya, pengguna bisa langsung mendatangi RSJ terdekat dan menanyakan prosedur pengobatan menggunakan BPJS.
"Bantuan profesional itu, kan, bisa dibilang tidak murah. Obat-obatannya juga mahal, dan pengobatannya tidak satu kali sesi selesai, jadi bisa dalam jangka waktu yang panjang. Terkadang bisa bertahun-tahun, bahkan bisa seumur hidup," tutur Farras dikutip Suara.com dari siaran tertulis, Minggu (10/10/2021).
5. Takut dengan Treatment yang Akan Dihadapi
Kurangnya literasi dan edukasi mengenai kesehatan mental membuat banyak orang yang mengalami ketakutan bahkan sebelum sesi konsultasi atau pengobatan dimulai. Banyak orang yang sudah “termakan” dramatisasi film.
Sehingga mereka punya ekspektasi yang negatif saat hendak berkonsultasi. Misalnya takut akan adanya treatment berupa hipnosis atau penggunaan alat-alat listrik yang dihubungkan ke otak.
Menurut penuturan Farras, treatment masing-masing orang berbeda sesuai dengan masalah dan analisis para ahli yang menanganinya. Di luar itu, treatment apa pun yang akan dilakukan pada pasien juga akan dikonsultasikan terlebih dahulu oleh dokter atau terapis yang menanganinya.
Begitu pula dengan obat-obatan yang akan dikonsumsi, dokter akan memberitahukan secara mendetail masing-masing kegunaan dan efek samping dari obat tersebut.
Diakui Farras, untuk mengatasi kelima hal di atas, dibutuhkan waktu yang panjang. Untuk mengatasinya, dibutuhkan edukasi dan literasi yang mumpuni.
"Cara ini bisa dimulai dari diri sendiri dan orang-orang sekitar, yaitu dengan meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan mental. Diharapkan nanti dari circle kita itu akan meluas ke circle-circle pertemanan teman kita yang lainnya," tutur Farras.
Hal inilah yang menjadi alasan dibentuknya Social Connect, sebuah komunitas kesehatan mental terbesar di Indonesia. Komunitas ini dibangun secara inklusif pada 2019 bagi siapa saja yang ingin belajar, berbagi cerita, dan bertukar pikiran seputar kesehatan mental.
Spesial World Mental Health Day 2021, Social Connect mengadakan kampanye bertaju “Mask Up: Jaga Diri dari Stigma Kesehatan Mental”. Dalam program ini, Social Connect akan mengadakan kelas gratis untuk edukasi dan pengembangan diri.